Berawal dari Chat mereka kembali bertemu.
Jia Indira Lituhayu. Cewek yang dikenalkan seseorang lewat chat pada Arkan. Katanya Jia itu pendiam, kalem, dan baik hati. Namun begitu mengetahui kalau ternyata Jia ini adalah temannya saat ia masih mendudu...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Oke, maap baru update setelah sebulan lebih.
Selamat membaca.
[][][][]
Lima detik setelah keluar dari ruang perpustakaan, Arkan sudah senyum-senyum sendiri.
Pemuda itu tidak peduli dengan tatapan para siswa yang menatapnya aneh. Atau mungkin, salah satu di antara mereka akan beranggapan bila dirinya telah dirasuki oleh penunggu perpustakaan.
Tiap kata yang diucapkan gadis itu—
"Gue kesel dia selalu gangguin gue, tapi malah jauh lebih kesel pas dia ganggu cewek lain. Gue lakuin hal bodoh, pura-pura kirim chat salkir, padahal harusnya gue seneng kalau dia nggak ngechat gue lagi. Bahkan, cara simple buat langsung blokir aja, dari dulu nggak pernah gue lakuin."
Rasanya seperti mimpi.
Arkan mengenal Jia cukup lama. Selama itu pula, Arkan tidak pernah bisa menebak bagaimana pikiran, tindakan, bahkan perasaan gadis itu yang sesungguhnya. Apakah dirinya tetap dilabeli sebagai manusia pengganggu? Atau apakah dirinya cukup berarti bagi gadis itu?
Semenjak keinginan sederhananya tidak pernah bisa terwujud, Arkan mulai belajar untuk tidak berekspetasi terlalu tinggi. Untuk tidak menaruh harapan terlalu besar pada seseorang. Untuk tidak terlalu menginginkan sesuatu—yang mungkin akan sangat mustahil.
Dipertemukannya kembali dengan Jia selain membuat hidup Arkan lebih terasa menyenangkan, juga sebenarnya menimbulkan sedikit ketakutan.
Arkan tidak bisa membayangkan bagaimana jika Jia tidak akan pernah bisa Arkan gapai? Serta Bagaimana jika Jia suatu saat akan pergi dari kehidupannya?
Bagi Arkan, Jia memang seberarti itu. Secara tidak sadar, gadis itu dari dulu turut mengobati segala luka-lukanya. Meski mereka dikenal tidak pernah akur, diam-diam gadis itu menyimpan kepedulian besar terhadapnya. Membuat Arkan merasa tidak sendirian lagi. Membuat Arkan akhirnya merasa memiliki seseorang yang dinamakan teman.
"Nggak usah sedih gitu dong, anggap aja hari ini papa aku papa kamu juga."
"Aku emang kesel sama kamu, tapi aku nggak pernah ngejelek-jelekin kamu dibelakang kayak mereka."
"Sejak kapan Atha jadi sering murung gini? Biasanya juga buat onar mulu. Butuh partner ya? Yaudah ayok, hari ini aja kita jadi partner, aku lagi pengin makan orang."
Potongan-potongan ingatan itu, terputar begitu jelas dalam benaknya—
"Heh, senyam-senyum aja lo, mana bukunya?"
—sebelum suara menyebalkan dari Oka, merusak segalanya.
"Lah, tadi 'kan, udah dibilang lo ambil buku ke perpus buat entar diskusi kelompok. Sekarang mana bukunya?!" tanya Oka penuh menuntut.
Butuh waktu seperkian detik, bagi Arkan untuk mencerna perkataan Oka. "Oh, buku...?" Pemuda itu diam lagi. "Sorry, gue nggak bawa. Lo aja yang ngambil ya?"