28 -- Arti Dia Bagimu

337 26 493
                                    


"Kalian tumben diam aja, kenapa?" tanya Yulia heran. Wanita itu menatap Arkan dan Jelita secara bergantian. Padahal biasanya, baru duduk di meja makan, mereka sudah debat satu sama lain.

Keanehan ini sebenarnya telah ia rasakan sejak kemarin sore. Namun, wanita itu masih mengira, mungkin ini dikarenakan mereka terlalu kelelahan akan aktivitas masing-masing. Tapi ternyata, di pagi hari ini mereka masih saling diam tanpa ada yang mau membuka suara.

"Kalian, nggak ada yang mau jawab?" tanya Yulia sekali lagi.

Arkan sempat melirik Jelita sekilas. Sebelum menatap Yulia dengan seulas senyum. "Nggak ada apa-apa kok, Ma. Arkan lagi sariawan, makanya males ngomong."

Yulia sedikit ragu mendengar ucapan putranya. Lantas, ia mengalihkan atensi ke arah Jelita. "Kalau kamu, Jel? Nggak mungkin sariawan juga kan?"

Jelita yang tengah mengunyah roti, hampir tersedak. Gadis itu mengambil segelas air, lalu meneguknya hingga tersisa setengah. "Oh, a-aku, lagi pusing sama tugas."

"Yakin?"

"Iya, Ma." Arkan yang menyahut. "Arkan kan, adik yang perhatian, makanya nggak mau ganggu Kak Jelita dulu." Demi menutupi kecanggungan yang terjadi di antara ia dengan Jelita.

Sebenarnya, Arkan tidak pernah ada niat untuk mendiamkan kakaknya. Arkan tidak marah. Hanya saja, perdebatan mereka kemarin, cukup membuat moodnya sampai hari ini memburuk. Jadi, untuk kali ini ia tidak berminat melontarkan sebuah kalimat absurd. Atau pun menganggu Kak Jelita—melupakan segala yang mereka ributkan kemarin.

Yulia selanjutnya, memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut. Wanita itu akhirnya memfokuskan diri dahulu untuk mengurus segala keperluannya. Mengenai masalah kedua anaknya, nanti akan ia tanyakan pada Bi Sari. Apa pemyebab keduanya seperti tengah terlibat perang dingin.

Karena, bila terus menanyakan pada mereka, sama saja akan berakhir sia-sia. Arkan walau pribadi yang ceria, pemuda itu sebenarnya cukup tertutup. Ia tidak pernah bercerita apa pun mengenai segala masalah yang ia alami. Ia lebih memilih memendam semuanya sendiri. Sedangkan Jelita, putrinya itu mau-mau saja untuk bercerita. Namun, tentu tidak di depan orangnya langsung. Harus berdua. Tanpa ada satu pun orang yang ikut bergabung.

"Jelita, kamu jadi ke rumah temen kamu?" tanya Yulia. Memecah kesunyian yang terjadi.

"Jadi Ma, ini aku bentar lagi mau pesan taksi online," jawab Jelita.

"Tumben, biasanya kamu maksa-maksa adik kamu." Yulia ingin sedikit memancing bagaimana respons dari Arkan.

Jelita agak tergagap. Di depan mama, ia memang tidak pandai berbohong. "K-kan, Arkan sekolah. Kalau harus anterin aku dulu, entar dia telat."

Arkan melirik sekilas. Sejak kapan seorang Jelita menjadi super perhatian begini? Biasanya juga tidak peduli mau Arkan telat atau tidak. Tapi, bukan berarti Arkan selama ini telat karena ulah kakaknya. Namun, karena Jelita tahu, Arkan suka banget buat datang telat, makanya dia memaksa minta dianterin. Itu pun, karena tempat tujuannya searah. Toh, bagi Arkan, terlambat ke sekolah bukanlah sebuah malapetaka.

Setelah menyelesaikan sarapan, Arkan bangkit dari kursi. Pemuda itu menyampirkan tasnya di punggung. "Ma, aku berangkat dulu," pamitnya.

Sebelum benar-benar melangkah menuju garasi, Arkan menoleh ke arah Jelita. "Nggak usah sok nggak enakan. Ayo gue anterin."

"Loh, tapi kan, arah rumah temen gue—"

"Biarin," potong Arkan. "Masih satu kota ini, bukan luar provinsi."

"Lo serius?" Jelita tampak masih ragu.

"Ya, serius lah, tapi gue seriusnya ke cewek gue sih," ucap Arkan. "Lo kalau mau diseriusin, minta aja sana sama cowok lo."

Hey Jia!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang