09 -- Sang Penolong

489 104 862
                                    


Jia terus menendang batu kerikil dengan perasaan kesal. Lagi dan lagi dirinya melangkah sendirian dari sekolah menuju halte.

Tadinya Ima sempat menawarinya pulang bersama. Tapi, belum ada satu jam, gadis itu langsung membatalkan janjinya. Katanya sih, ada urusan penting.

Jia berdecak. Urusan apaan coba?

Paling hanya karena mendengar barang kesukaannya sedang diskon besar-besaran.

Mengenai Arkan tadi di UKS, Jia langsung menolak tawaran cowok itu. Bagi Jia cukup hari itu saja dirinya berboncengan dengan Arkan. Setelahnya tidak akan lagi. Toh, juga kan, sekarang kaki Jia sudah bisa dibuat berjalan.

Jangan ditanya kenapa Jia bisa sekesal itu dengan Arkan. Karena gadis itu sendiri pun juga tidak tahu. Intinya, setiap cowok itu menampakkan wajahnya, rasanya Jia ingin sekali menonjok wajah songongnya.

Kalau dibilang dendam, mungkin saja. Mengingat semasa SD cowok itu selalu mengganggunya.

Tapi...

Di waktu yang lain, cowok itu juga bisa diajak kerja sama. Jia masih ingat, dulu ia pernah lupa membuat PR dan Arkan menyelamatkannya dari hukuman guru.

Dan juga, cowok itu pernah membantu dirinya ketika kesulitan menjawab satu soal ulangan harian. Yang akhirnya nilai ulangannya menjadi sempurna.

Hmm Arkan tidak seburuk itu. Dia baik, hanya saja usilnya kelewatan banget. Jadi, harusnya Jia tidak usah merasa begitu kesal.

Lagi pula, dulu Jia juga sama usilnya jika dipikir-pikir.

"Eits, ada yang lewat nih." Jia tersentak. Dia langsung menghentikan langkahnya ketika dua pria berbadan kekar menghadang jalannya.

Tunggu dulu, sejak kapan ada preman di sini?!

Perasaan dari kemarin tidak ada.

Wajah Jia berubah cemas bercampur bingung. Kedua orang dihadapannya sangat lah menyeramkan. Jia juga tidak sejago itu untuk membela diri. Latihan silatnya yang hanya tiga bulan ketika kecil pun tidak akan berguna.

"Serahin duit lo!" suruh preman yang jauh lebih tinggi dari temannya.

"Nggak. Kalau mau duit ya kerja dong!" balas Jia dengan nada menantang. Padahal aslinya dia benar-benar ketakutan. "Masa kerjaannya cuma palak anak SMA."

Preman itu terlihat murka. "Berani lo sama gue?!"

Ya nggak sih.

"Ngapain takut?!" Balas Jia tetap mempertahankan nada bicaranya. Bagaimana pun juga dia tidak boleh terlihat lemah.

"Heh, mending lo cepetan kasih duit lo, kalau nggak mau kenapa-napa!" Preman yang satunya angkat bicara.

Mereka maju mendekat. Membuat Jia langsung bergerak mundur.

"Jangan macam-macam!" peringat Jia. "Gue bakal teriak."

Kedua preman itu justru tertawa membuat Jia mengernyit. Memang ada yang lucu?

"Lo buta? Liat sekeliling lo!"

Jia menoleh ke kanan dan ke kiri. Sedetik kemudian, ia meringis. Dia lupa jalan menuju halte biasanya memang sepi di jam segini. Pantas saja, kedua pria berbadan kekar itu menjadikan tempat ini sebagai sarana operasi.

Lalu sekarang bagaimana?

"Apa gua bilang?!" sentak preman tinggi itu. "Cepet serahin duit lo!"

Tidak. Jia tidak akan memberikan uangnya. Kalau dikasih, dia pulang naik apa? Sejenak perasaan menyesal itu muncul ketika ia menolak tawaran Arkan.

Jia memutar akal agar bisa kabur.

"YAAMPUN, ITU APAAN?!" tunjuknya ke arah kaki preman tinggi itu dengan wajah histeris yang dibuat-buat.

Sayangnya, reaksi mereka tak seperti yang Jia harapkan. Jia pikir cara-cara di sinetron bisa membantunya ternyata nggak sama sekali.

"Heh, lo pikir kita sebego itu?"

Mereka kembali melangkah maju. Jia otomatis bergerak mundur. Lalu berikutnya gadis itu memberanikan diri berlari menjauh. Masa bodoh dengan kakinya yang kini terasa sedikit perih. Keselamatannya ini benar-benar dipertaruhkan.

"WOI JANGAN KABUR LO!"

Segala umpatan kasar rasanya ingin keluar dari mulut Jia. Ya tuhan ... mengapa mereka masih tetap mengejarnya? Huhu bagaimana ini?

Sebuah motor besar tiba-tiba berhenti tepat di depannya. Jia semakin bingung. Dia siapa? Aduh, jangan-jangan dia teman dari kedua preman itu.

"Naik," ajak pemuda itu.

"Hah?" Jia belum sepenuhnya mengerti.

"Cepet naik!" Suara pemuda itu naik satu oktaf.

Tanpa berpikir lebih panjang lagi, Jia akhirnya naik ke motor besar milik pemuda itu. Sedetik kemudian, motor itu melaju dengan cepat meninggalkan kedua preman yang masih berlari mengejar.

[][][][]

Sudah selama 20 menit, akhirnya motor besar itu sampai di depan rumah Jia. Gadis itu langsung turun dari kendaraan milik pemuda baik hati ini.

"Thanks ya," kata Jia menepuk bahu pemuda itu. "Kalau nggak ada lo, nggak tau lagi dah nasib gue bakal kayak gimana."

Pemuda itu melepas helmnya lalu mengangguk. "Sama-sama."

"Lo anak SMA Budaya juga?" tanya Jia. Mengetahui seragamnya dengan cowok itu ternyata sama.

"Iya, kenapa?" Pemuda itu balik bertanya.

Jia mengangkat bahu acuh. "Ya nggak papa juga sih, nanya doang."

"Gue Arga. Kakak kelas lo." Tangan pemuda itu terangkat meminta bersalaman. "Nama lo siapa?"

Jia tidak membalas salaman itu. "Gue nggak nanya nama lo sih," balas Jia cuek. " Tapi yaudah, gue Jia."

Arga mendengus geli menyadari salamannya tidak dibalas dan juga mendengar jawaban dari gadis di sampingnya ini. "Sekadar informasi."

"Oh." Jia merespon singkat. "Yaudah, kalau gitu gue masuk ya."

Jia berbalik badan, sudah ingin melangkah menuju ke dalam rumah. Namun sedetik kemudian langsung berhenti karena mendengar perkataan dari pemuda itu.

"Gue nggak di suruh masuk dulu?"

Jia tidak menjawab. Wajahnya dibuat-buat seakan tengah berpikir. "Hmm, oke, lo mau mampir? Tapi mending nggak usah ya, lagi nggak nerima tamu soalnya, hehe."

Jia tersenyum. Lalu pergi meninggalkan pemuda itu yang cukup kaget mendengar balasan darinya.

Namun sayangnya, Jia tidak menyadari suatu hal yang sangat penting.

[][][][]

Halo

Gimana sama bab ini?

Wah, Arganya udah muncul tuh^^

Sampai jumpa part berikutnya

08 Juni 2020

See you

Hey Jia!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang