20 -- Konsekuensi

339 46 564
                                    


Siang hari itu suasana kafe seperti biasa selalu ramai dipenuhi oleh pengunjung. Alunan musik dari penyanyi terkenal---Anji menggema di tiap sudut penjuru kafe.

Wanita itu naik ke lantai atas. Tempat yang jauh lebih sepi dari pada di bawah sana yang mayoritas dipenuhi para anak muda yang masing-masing asik pada dunianya.

Duduk di dekat jendela menjadi pilihan bagi wanita itu. Sembari menunggu seseorang, ia bisa melihat pemandangan di luar sana.

Omong-omong, cuaca hari ini tidak secerah biasanya. Sang baskara sedari pagi masih bersembunyi dibalik mega kelabu. Meskipun begitu hujan tidak kunjung turun.

Wanita itu merogoh ponselnya. Tangannya bergerak lincah mengetik nomor seseorang. Baru akan menekan tanda hijau, sebuah suara mengalihkan atensinya.

"Selamat siang," seseorang itu menyapa tidak lupa menampilkan seulas senyum. "Maaf karena sudah lama menunggu."

[][][][]

Insiden salah pencet saat jam istirahat pertama tadi sudah berakhir dengan Aldo yang akhirnya meminta maaf meskipun sampai saat ini Jia belum mau memaafkan.

Ayolah, Jia itu dari kemarin udah malu. Masa sekarang malunya jadi bertambah sih? Aldo memang sudah minta maaf, tapi dia minta maafnya tuh, kayak tanpa rasa bersalah. Masa Jia belum balas apa-apa, cowok itu langsung main games tanpa peduli ia bakal memaafkannya atau tidak.

Ini nanti Jia harus bagaimana, kalau saat pulang sekolah ia malah tanpa sengaja harus bertemu dengan pemuda itu?

Jia sudah bisa membayangkan bagaimana wajah songong Arkan yang tersenyum meledek padanya. Terus dia pasti akan berbicara. "Ciee, lo pasti kangen ya, sama gue?"

Masa iya, Jia harus berkorban lagi dengan pulang paling lambat dari siswa lain? Jia masih trauma ya, sama kejadian tempo hari saat ia dicegat dua orang preman. Ia tidak mau jika kejadian itu harus terulang kembali.

"Siapa yang bisa menjawab soal di depan?" Suara guru di depan sana membuyarkan lamunan Jia. Gadis itu menatap seluruh temannya. Ada yang pura-pura membaca buku, ada juga yang pura-pura menghitung. Pokoknya, tidak ada yang boleh menatap Bu Asih kalau nggak mau tiba-tiba ditunjuk.

"Kenapa semua diam?" tanya Bu Asih heran. "Bukannya tadi kalian bilang sudah mengerti? Apa mau saya tunjuk?"

Tuh, kan! Jia buru-buru mengikuti apa yang teman-temannya lakukan. Gadis itu membuka buku paket yang sedari tadi tertutup lalu pura-pura membaca.

"Oke kalau gitu—"

Suara Bu Asih terputus ketika sebuah tangan terangkat. Guru itu tersenyum. "Oke, Aldo, silakan maju."

Jia menoleh. Tanpa sadar jadi mendelik saat Aldo bergerak maju ke depan. Jujur Jia iri. Aldo kan, dari pagi sampai malam pasti pegangnya hape terus buat main games. Kenapa bisa masuk tiga besar seangkatan sih?

Dia pakai jimat?!

"Selamat Aldo, jawaban kamu benar," ujar Bu Asih setelah memeriksa jawaban yang ditulis Aldo di papan tulis. "Oke, silakan duduk lagi."

Aldo hanya tersenyum. Cowok itu kembali menuju bangkunya. Menyadari Jia tengah menatapnya, lantas ia tersenyum jumawa. "Kenapa lo?"

Jia langsung mengalihkan pandangan. Set dah sombong amat. Kalau Jia ternyata bisa merebut posisinya itu, auto nangis kali ya?

Hey Jia!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang