18 -- Kok Sepi? Kok Hampa?

381 47 890
                                    


"Jam segini baru pulang, ke mana aja kak?"

Suara dari sang adik menyambut Jia ketika ia baru memasuki rumah. Nia bersedekap dada, sok-sok an memasang tampang garang layaknya ibu-ibu yang ingin memarahi anaknya.

Jia mendengus malas. Dalam hati sempat mencibir. Sumpah, nggak pantes banget.

"Nggak usah kepo lo," balas Jia. Gadis itu melangkah melewati Nia yang kini melotot kesal karena jawaban judes darinya.

"Dih, ditanya serius, malah gitu jawabnya," Nia merengut kesal. Ia mengikuti langkah kakaknya yang menuju dapur. "Aku aja jam setengah satu udah di rumah. Lah, kakak, masa jam lima baru pulang."

"Kan, gue pulang sekolah jam setengah empat. Telat dikit gitu nggak papa kali." Jia mencibir.

"Awas Kak, entar malah jadi kebiasaan."

Gini nih, kalau punya adik yang hobi banget minta dihujat. Bisa-bisanya dia ngoceh kalau dia paling alim, paling rajin. Terus kakaknya dianggap bandel, males, sama nakal gitu?!

Padahal, Jia baru kali ini pulang agak telat--- jika tidak ada tugas kelompok.

Mama juga nggak sesewot ini. Malah beliau nyuruh Jia main ke luar karena saking sukanya di kamar terus.

Lagian, aslinya yang sering main sampai lupa waktu tuh Nia sendiri. Mama aja harus ke tetangga sebelah buat jemput adiknya ini karena saking bandelnya nggak mau pulang.

Dasar, emang suka nggak ngaca.

"Kak, kakak bawa apaan? Makanan ya?" tanya Nia, kala melihat Jia meletakkan paper bag yang dibawanya di meja makan.

Jia melirik sekilas. Peka amat sih, kalau soal makanan. "Tuh, kurang baik apa coba gue?"

Kedua bola mata Nia berbinar ketika mengetahui isi dari paper bag itu adalah satu box pizza---makanan kesukaannya. Yaampun, ternyata kakak garangnya ini perhatian sekali.

"Ini bener kan, kak buat aku?"

"Bukan, buat tetangga." Jia menjawab asal. Udah tahu, pakai nanya segala!

"Ihh." Nia mengerucutkan bibir. Berbanding terbalik dengan tangannya yang kini membuka box itu lalu mulai mengambil sepotong pizza untuk dimasukkan ke mulut.

Karena Nia asik makan sendiri tanpa berniat menawari sedikit pun, akhirnya Jia memilih berbalik ingin menuju kamarnya saja. Tidak perlu heran, Nia memang selalu begitu. Nggak ada basa-basinya dulu, bilang makasih saja tidak.

Lagi pula, Jia juga sudah kenyang. Emang ya, Arga itu baiknya bukan main. Tadi Jia sudah ditraktir. Eh, masih sempat-sempatnya pemuda itu menawari lagi barangkali ingin dijadikan camilan di rumah.

Jia tentu saja menerima tawaran itu. Kan, rejeki nggak boleh ditolak.

Masalah mengenai berita palsu yang menyebar, Jia sudah mengklarifikasinya saat Arga datang menemuinya ke kelas. Jia awalnya tentu saja kaget, bahkan jadi rada malu akibat ulahnya sendiri.

Yaa, mungkin saja, kan, ternyata Arga malah mengiyakan ucapan asalnya.

Pede banget emang.

Tapi untung saja, Arga tidak menanggapinya dengan serius. Respon dari pemuda itu hanya tertawa kecil, lalu mengajaknya pulang bersama, dan melipir dulu di kafe.

By the way, ketawanya Arga ganteng sih. Adem gitu kayak ubin masjid.

Pantas saja dipilih sebagai ketua OSIS.

Tapi sayang, dua hari lagi sudah voting pemilihan ketua OSIS baru. Jadi, masa jabatan Arga sudah mau habis.

Selesai mengganti pakaiannya, Jia langsung merebahkan badan ke kasur. Gadis itu mengambil ponselnya dari dalam tas. Merasa bingung harus melakukan apa, Jia kembali meletakkan ponselnya. Gadis itu menatap langit-langit kamar. Semenit kemudian, memeluk gulingnya dengan erat. Kok, dia jadi bingung begini ya?

Hey Jia!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang