23 -- Terasa Menyenangkan

323 41 594
                                    


Arkan kira, pesan ajakan yang ia kirim kemarin siang, akan langsung ditolak mentah-mentah oleh gadis itu mengingat dia tidak pernah membalas tiap chat yang Arkan kirim.

Arkan masih tidak percaya, tapi pemuda itu tentu saja senang bukan main. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana Jia membalas chatnya.

Jiasayang : oke

Jiasayang : gue tunggu

Sempat terpikir jika gadis itu hanya salah kirim, tetapi Arkan rasa tidak mungkin juga. Berarti usaha Arkan selama ini, benar-benar membuahkan hasil?

Lalu, bagaimana dengan Arga?

Bukankah Arga dan Jia sudah jelas memiliki sebuah hubungan? Masa iya, Arkan bawa pacar orang jalan bareng? Kenapa juga ia baru kepikiran sekarang? Tapi bodo amat lah, toh, ia tidak membawanya ke KUA.

Tapi, kalau Jianya mau sih, Arkan nggak masalah.

Motor Arkan telah sampai di depan pekarangan rumah Jia. Pemuda itu turun dari kendaraannya, lalu melangkah dan mengetuk pintu. Tidak sampai lima menit, pintu langsung dibuka menampilkan seorang wanita yang Arkan tahu itu adalah mama dari gadis itu.

Arkan tersenyum lebar. "Assalamualaikum Tante," sapanya sembari menyalimi tangan wanita di hadapannya. "Tante masih inget sama saya nggak?"

Wanita di hadapannya balas tersenyum ramah. "Waalaikumsalam, Tapi siapa ya?" tanyanya menunjukkan ekspresi bingung.

"Masa nggak inget, Tan? Saya temen sdnya Jia, yang dulu namanya Atha." Arkan menjelaskan dan baru lah Kirana mengingatnya.

"Oh, iya, Tante baru ingat. Kamu juga, yang dulu ke sini buat kerja kelompok kan?" tanya Kirana memastikan. "Kalau nggak salah, kalian bukannya kerja kelompok malah rebutan keripik sampai toplesnya pecah?"

Arkan meringis, jadi malu sendiri. Kenapa dulu ia begitu amat sih? Ngapain coba sampai rebutan kripik segala? Padahal kan, bisa makan secara baik-baik. Yaampun, Arkan kecil kenapa bar-bar sekali? Bikin malu saja.

"Ayo masuk dulu," Kirana menawari. "Mau ketemu Jia kan? Biar tante panggilin dulu anaknya."

Arkan tidak menolak, pemuda itu mengikuti langkah wanita di hadapannya masuk ke dalam, lalu ia duduk di sofa ruang tamu.

Sembari menunggu, Arkan sempat melihat sekeliling. Ternyata tidak ada yang berubah di sini. Dari tata letak benda, hingga foto-foto saat Jia masih bayi pun, terpasang di dinding dengan rapi. Omong-omong, Arkan pernah foto bareng sama Jia nggak sih, sewaktu SD dulu?

Seingatnya sih, pernah. Tapi, bukan foto berdua, melainkan bersama teman-teman sekelas. Arkan yang dengan sengaja mengambil tempat di samping Jia, lalu mereka bukannya berpose malah saling debat satu sama lain. Ah, Arkan jadi kangen sama masa-masa itu.

"Atha, Jianya lagi mandi, kamu tunggu sebentar nggak papa?" Arkan mengerjap menyadari ibu dari Jia melangkah menghampiri.

"Nggak apa-apa Tante, saya mah, udah biasa nunggu," balas pemuda itu. Nunggu anak tante, yang nggak peka-peka.

Kirana menanggapi dengan tertawa kecil. Ia duduk di hadapan Arkan, lalu mengajaknya mengobrol sembari menunggu Jia bersiap-siap. "Tante pangling loh, liat kamu. Beda banget sama dulu."

"Tambah ganteng kan, Tante?" Arkan menyahut dengan percaya diri.

Kirana tertawa lagi. "Iyain aja deh, tapi pasti Jahilnya juga bertambah kan?"

Kirana ingat, dulu Jia sering kali mengadu bagaimana Arkan terus menjahilinya. Bahkan, saat kerja kelompok—kali pertama anak itu datang ke rumah ini, ia tidak canggung untuk sekadar menyapanya, lalu kembali mengusili putrinya tepat di hadapannya.

Hey Jia!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang