“Haan...”
Eldy hanya bengong mendapati kamar hotelnya yang kosong. Tidak ada Haani, tidak ada barang-barangnya. Jantungnya berdegup sangat kencang, teriakan Haani yang memohon padanya untuk berhenti berulang kali terputar di kepala. Padangan Eldy kosong, dadanya benar-benar sesak. Ia menghancurkan segalanya.
Tangannya gemetaran mengambil handphone, mencari kontak sabahatnya dan menelpon, suaranya bergetar, matanya panas, Eldy merasa berdosa, salah, ia benar-benar menghancurkan semuanya.
“El?”
“Van.. please...”
“Eldy? Kenapa?”
Sama sekali tidak bisa menjawab, sesak. Sangat sesak. Panggilan Evan di sebrang sama sekali tidak dijawab oleh Eldy. Ia ingin meminta pertolongan atau apapun, tapi ia yakin yang kini benar-benar butuh pertolongan adalah Haani, karena ulahnya, karena setan yang membisikinya.
Sepanjang malam teriakan Haani sama sekali tidak bisa hilang dari ingatan, pikrannya juga jadi kemana-mana, ia ingat rekannya yang lain, Alfy, Dany, Aga, semuanya ada dalam kepala. Karena kebrengsekannya, Eldy yakin ia tidak bisa menatap teman-temannya lagi. Keluarganya hancur, Eldy yang menghancurkannya.
Tangannya kaku menarik koper, ia pulang lebih cepat dari jadwal yang sudah ditentukan. Kesalahan dan dosa yang terus menerus berputar di kepalanya. Kemarin Eldy meminta dihukum karena sudah lancang mengecek handphone Haani, kini Eldy benar-benar mendapat hukumannya. Eldy masih merasa tidak setimpal, ia harusnya bisa mendapat hukuman lebih, karena ia menghancurkan Haani, karena Eldy menghancurkan semuanya.
Sekali lagi Eldy menelpon Evan, meminta bertemu.
“Sorry...” kata pertama yang keluar dari mulut Eldy tidak lain adalah maaf.
Evan hanya diam, ia sudah dengar semua cerita dari Alfi pagi tadi, lalu dari Haani sendiri sore tadi. Malam ini Evan berhadapan langsung dengan Eldy, yang ia bisa lihat kacaunya melebihi Haani.
“Gue mau keluar.”
“El- H-Haani bilang, dia mau ngomongin ini dulu.”
“Gue gak bisa. Gue udah ngancurin semuanya Van... sekalipun gue masih bisa kerja di sana, gue yakin Haani takut sama gue, bahkan yang lain juga, bahkan Alfi.”
Evan diam lagi.
“Keluarin gue Van.. gue mohon... Atau lo bisa laporion gue ke polisi, gue mau hukuman yang setimpal sama apa yang gue lakuin Van, please.”
“Haani masih ngebela kamu di depan saya El, kamu masih bisa minta maaf, kamu masih bisa jelasin semuanya. Lagian- lagian saya yang nyuruh kamu buat cari tau-”
“Lo pikir gue bisa ngomong kayak gitu?" Eldy menyela, matanya terbuka penuh air mata. "Mola bisa ancur gara-gara itu Van. Gak bisa. Mola harus tetep ada, itu rumah mereka. Lo harus tetep bersih, lo harus disana, jagain mereka.”
“Eldy...”
“Keluarin gue Van, gue mohon.”
Evan tidak punya pilihan lain. Ia juga yakin kalau akhirnya Eldy memang akan dikeluarkan dari mOla. Keputusan ada di tangan Surya, tapi seandainya Eldy mau diajak bicara dengan Haani untuk menyeleasikan secara kekeluargaan, Evan yakin Eldy tidak perlu keluar. Tapi tidak, Eldy sudah memohon, raut penyesalan itu bisa Evan lihat dari wajah Eldy, bahkan airmatanya sama sekali tidak bisa membohongi.
Evan yang menyuruh Eldy menyelidiki Haani, perasaan bersalah itu juga ada padanya. Evan ingin mengatakan yang sebenarnya, tapi Eldy memohon padanya untuk tidak, karena tidak ingin menghancurkan studio yang sudah seperti rumah. Perasaan sesak yang semua menyerang Eldy kini menyerang Evan, bayangan Haani yang ragu saat bercerita, bayangan Eldy yang menangis memohon padanya, diperburuk dengan omelan Alfi yang sama sekali tidak bisa berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Healing Way (BL 18+) [COMPLETE]
General FictionEldy mantan animator studio game dan Luki pelukis tato yang tinggal bertetangga di sebuah apartemen sederhana. Ini cerita tentang kehidupan Eldy yang terlibat dengan masalah Luki, yang dimana keduanya berusaha bangkit dari kesalahan di masa lampau. ...