♪ ♬ 14 ♬ ♪

1.2K 160 43
                                    

Lagu-lagu Sleeping at Last album Atlas: I terputar memenuhi apartemen Luki. Sudah biasa, Luki memang suka menikmati lagu-lagu dari grup tersebut. Bisa menenangkannya, bisa membuat Luki semakin sadar indahnya semesta yang ada, hanya dari lagu, tapi Luki bisa dikenalkan banyak hal. Bahkan, satu lagu dari album tersebut menyadarkan Luki tetang alasan kenapa ia harus hidup.

Sesekali matanya melirik ke arah sofa yang membelakangi jendela beranda, Eldy masih disana memijat-mijat keningnya. Rasanya sudah sejak tiga hari yang lalu Luki mendapati Eldy setres dengan pekerjaannya, atau bahkan hal lain yang masih menyangkut pekerjaannya. Karena sering berpapasan, Luki mengajak Eldy mampir, agar mau bercerita agar lebih ringan, tidak dipendam sendiri dan jadi beban.

Luki mengeratkan kuncirannya setelah mematikan kompor, senyumnya agak ditarik ketika ia melenggang mendekati Eldy. “Ayo.”

“Apa?” Eldy sekadar bertanya, senyumnya mengembang aneh, bingung juga karena tiba-tiba Luki menariknya untuk berdiri. “Ngapain sih?” dan makin bingung waktu Luki menyimpan tangan Eldy di pinggangnya.

“Biar gak setres.”

Eldy hanya terkekeh remeh. Tidak pernah kepikiran olehnya kalau ia akan diajak berdansa seperti ini, di ruangan yang banyak barang dan penuh dengan aroma manis dari kue kering. “This is odd.”

Luki hanya tersenyum, masih setia mengajak Eldy berdansa. Kaku memang, pun Luki membenarkan kalau yang ia lakukan ini benar-benar aneh, tiba-tiba, hanya karena alasan agar Eldy tidak setres.

“Ki.”

“Biar kayak di film-film.”

“Tapi ini bukan film.”

“Tapi ada orang yang lagi baca kita.”

Eldy diam sejenak, senyumnya makin aneh ia buat. “Okay, this is odd!”

I know.” Luki makin terkekeh, ia menghentikan geraknya, juga langkahnya, ia benar-benar harus mengakui kalau yang ia lakukan memang benar-benar aneh. “Seenggaknya kamu udah ketawa.”

“Aneh banget sih.” Eldy agak mendorong Luki, untuk kembali duduk di sofa dan ia juga lihat Luki kembali ke dapur siap kembali mengurusi kue-kuenya. “Keliatan banget ya?”

“Hm.. kusut banget.”

“Gitu ya..” Eldy mendongak, menyandarkan kepalanya, “Gue.. masih gak percaya aja. Maksudnya, ya soal kerjasama kantor gue sama Mola itu ya masuk akal, tapi kenapa harus sama Mola? Dari sekian banyak studio animasi. Kenapa harus Mola?”

“Bukannya itu takdir?”

“Gue gak ngerasa kayak gitu.” Sampai saat ini pun Eldy masih tidak percaya, meski pertemuan tidak sengajanya dengan Dany sudah berlalu seminggu kemarin dan ia juga sudah mengundurkan diri dari kerjasama antara kantronya dan mOla ini.

Waktu itu, Eldy benar-benar tidak menyangka kalau ia yang diminta untuk menghadiri rapat bersama atasannya itu adalah rapat kerja sama dengan mOla. Kaget bukan main, Eldy kira ia mimpi bisa melihat Dany lagi. Tapi ternyata bukan, sama sekali tidak mimpi. Sejauh apapun Eldy berlari, masih tersusul juga. Eldy masih bisa berlagak biasa saja, bekerja profesional, tidak mau membawa masalah pribadinya ke kerjaan.

Pun kenapa bisa kantornya sampai bekerja sama dengan mOla, karena kantornya ingin membuat iklan masyarakat dengan animasi. Eldy yakin ada banyak sekali studio animasi yang bahkan khusus untuk hal seperti itu, tapi kenapa harus mOla yang notabene-nya studio game? Kenapa?

Meetingnya memang berjalan lancar, tanda tangan kesepakatan kerja sama juga berlangsung lancar. mOla menyanggupi kerjasamanya, iklan masyarakat itu paling lambat akan selesai dalam enam bulan, paling cepat tiga bulan, tergantung revisi dan lain-lainnya. Hanya iklan masyarakat berdurasi satu menit memang, tapi kalau menggunakan animasi tentu bukan hal yang mudah, tidak bisa asal-asalan apalagi menyepelekan.

Our Healing Way (BL 18+) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang