Jika dihitung dengan hari ini, sudah hampir seminggu Aletha tinggal sendiri di apartemen. Dan sudah selama itu pula ia tidak tahu apa motif dan tujuan Jaemin membantunya untuk mengutarakan semua hal yang seharusnya ia katakan pada Papi. Mulai dari apartemen hingga urusannya dengan Mami.
Tiap kali ada kesempatan, Aletha selalu lupa untuk bertanya. Jaemin juga tak pernah sekalipun membahasnya lebih dulu. Lagipula, interaksi keduanya tidak terlalu banyak. Jaemin hanya sebatas mengantar dan menjemput Aletha ke manapun gadis itu hendak menuju. Na Jaemin sudah seperti supir pribadi Aletha akhir-akhir ini.
—tapi anehnya, Jaemin tak pernah sekalipun menunjukan tanda-tanda keterpaksaan meski sadar jika ia 'diperbudak' oleh gadis itu.
Aletha yakin, sosok ayah kandungnya itu pasti sudah bertemu dengan mantan istrinya. Ya... walaupun ia tidak tahu kapan waktu pastinya, tapi ia cukup yakin jika masalah dendam kedua insan itu di masa lalu akhirnya sudah menemukan sebuah titik terang. Hal itu tampak dari perubahan sikap mereka yang sangat kontras, terlebih sikap Papi kepadanya.
Mami, kini sering sekali datang ke apartemennya, entah hanya untuk sekadar menjenguk, mengajaknya jalan-jalan, atau membawakannya beberapa menu makanan hasil karya tangannya. Padahal dulu, wanita itu hampir tidak pernah menghampirinya lebih dulu. Seolah takut jika akan ada pertikaian dengan mantan suaminya jika ia membawa putrinya itu pergi, meski barang sebentar.
Papi, pria yang semula suka membentak dan pelit luar biasa, kini mendadak jadi sosok ayah yang lembut kepada putrinya dan kelewat royal. Satu hal yang masih membuat gadis itu tercengang hingga sekarang, nominal uang yang ditranfer oleh Papi tempo hari itu jumlahnya tidak masuk akal sebab setara dengan akumulasi tiga bulan uang sakunya dulu. Padahal jelas-jelas ditekankan jika itu hanya untuk sebulan.
Aneh kan?
Tapi, tidak apa-apa juga sih. Justru hal seperti ini yang selalu ia dambakan. Kalau begini kan ia jadi bisa hidup dengan lebih enak.
Ting!
Ting!
Fokus Aletha yang semula hanya tertuju pada layar laptop —sedang nyicil skripsi— kini teralih pada ponselnya yang baru saja berdenting. Dengan cepat, Aletha langsung mengambil ponselnya yang tergeletak asal di sebelah laptop lalu mulai membaca sebuah notifikasi pesan masuk di layar kuncinya.
—Felix: Bukain pintu, Tha
—Felix: Gue di depan unit loGadis itu menyerit bingung sebab isi pesan tersebut. Baru lima belas menit yang lalu ia menelfon Felix, meminta laki-laki itu untuk menemaninya belanja ke supermarket untuk membeli beberapa kebutuhan sehari-harinya, tapi ia menolak sebab sedang ada urusan dengan kekasihnya. Namun, sekarang sudah sampai di depan unitnya saja tanpa mengatakan apapun terlebih dahulu.
Melepas kacamata antiradiasi yang sejak awal menatap layar laptop ia pakai, gadis itu langsung bangkit dari duduknya, berjalan keluar kamar dengan langkah santai, lalu membuka pintu utama hingga dirinya mampu melihat sosok laki-laki berdarah campuran yang berdiri di ambang pintu unit apartemennya.
"Katanya lagi jalan sama cewek lo," ujar Aletha, mencibir.
"Udahan jalannya," balas Felix seadanya.
"Bentar banget?"
"Nanti aja kek nanya-nanyanya, haus nih gue!"
Aletha mendecak, menahan kesal. Ia langsung menyingkir, memberi ruang agar Felix bisa masuk ke unitnya dengan mudah. Lelaki berdarah setengah Australia itu nyengir lalu berjalan masuk.
"Gue gak inget dikulkas masih ada apa, ambil aja sendiri," kata Aletha seraya menutup kembali pintunya rapat-rapat.
"Tanpa lo kasih tau juga gue bakal mandiri, Tha. Kan tempat ini udah gue anggap sebagai kandang sendiri," sahutnya tanpa menoleh pada lawan bicara, masih fokus berjalan menghampiri kulkas.
KAMU SEDANG MEMBACA
[On Hold] Sweet Revenge
Fanfiction"Demi Macbook? Lo jadiin gue bahan taruhan demi Macbook?!" Wajar kan kalo Jaemin marah? ©Scarletarius, 2020