Jaemin berjalan santai, menghampiri sebuah meja, tepat di depan sebuah warung kopi sederhana yang letaknya ada di belakang kampus. Memandangi ketiga temannya, Jaemin mendengus geli.
Melihat Jeno yang tengah asyik memetik dawai-dawai gitar, diiringi suara nyanyian Haechan di sela laki-laki itu mengunyah gorengan, juga Renjun yang berwajah masam—menahan malu karena suara Haechan begitu menggelegar. Ya, walaupun sebenarnya suara Haechan itu tidak jelek, tapi tetap saja Renjun malu.
"Mang, pesen dong," ujar Jaemin cepat.
"Pesen apa, a'?"
"Biasa, satu," ujar Jaemin sembari mengacungkan jari telunjuknya.
"Kopi hitam ekstra pahit sepahit kehidupan kan?" Tanyanya memastikan.
"Yoi."
"Oke, tunggu sebentar ya a'."
"Sip."
Setelah menyelesaikan pemesanannya, Jaemin langsung duduk di sebuah kursi panjang kosong, tepat di depan Renjun dan Haechan, sedangkan Jeno ada di sebelah kirinya.
"Sepahit apa sih emang kehidupan lo, Jaem," gurau Jeno setelah menghentikan aktivitasnya, memetik senar gitar.
"Bukan gitu," elak Jaemin cepat. "Gue cuma butuh sesuatu yang pahit soalnya muka gue udah kelewat manis. Biar balance."
Renjun mendecih, "najis!"
"Sensi banget nih si bapak yang mukanya pait," balas Jaemin.
"Ngajak ribut lo?"
"Oh, mau?"
Renjun menggulung lengan hoodie yang ia kenakan. "Ayo, lo pikir gue takut?" Ucapnya menantang.
"Oke. Mau tangan kosong atau—"
"Gue pasang Jaemin. Lo siapa?" Ujar Haechan tiba-tiba.
"Kalo gitu, gue Injun," jawab Jeno.
"Sip, gocap-gocap ya?"
Meski tak buka suara lagi, pertanda setuju, Jeno langsung mengeluarkan dompet dari balik saku celana lalu meletakan selembar uang lima puluh ribu di atas meja. Tersenyum puas, Haechan juga meletakan selembar uang dengan warna senada dan meletakannya di atas milik Jeno.
"Yhe sialan, ini duo kampret malah taruhan!" Sungut Renjun.
Memang seperti ini kelakuan kumpulan laki-laki itu. Jangan harap ada yang melerai jika terjadi pertengkaran di antara mereka, mau hanya karena masalah sepele atau bahkan karena masalah besar.
Sejujurnya, selama hampir enam tahun berteman, mereka tidak pernah ribut besar. Kelimanya —kita harus tetap hitung Mark meski laki-laki Kanada itu tidak hadir kali ini— sudah cukup dewasa dalam menyelesaikan masalah. Cara paling ampuh untuk menghentikan keributan adalah dengan mengalah dan meminta maaf lebih dulu.
Lagi pula, tidak pernah sekalipun ada masalah besar yang menerpa mereka. Jadi tidak ada yang gengsi untuk meminta maaf lebih dulu. Meski sedikit aneh tapi... seperti itu lah kenyataannya.
Di sela-sela perdebatan mereka, Mang Asep—pemilik warkop datang menghampiri dengan segelas kopi hitam beralaskan nampan di tangannya.
"Ini a', kopi hitam ekstra pahit sepahit kehidupannya," ujarnya sembari menyuguhkan gelas yang mengepul di hadapan Jaemin.
"Tengkyu Mang."
"Ur welcome," balas Mang Asep gaul namun kental logat Sunda. "Sok atuh a', mangga diminum. Tapi... indomie-nya gak sekalian?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[On Hold] Sweet Revenge
Fanfic"Demi Macbook? Lo jadiin gue bahan taruhan demi Macbook?!" Wajar kan kalo Jaemin marah? ©Scarletarius, 2020