"Kalo emang bener bokap tiri lo itu beliin apartemen yang harganya satu miliyar buat lo, kenapa lo malah ngungsi di sini?"
Sebagai orang awam yang hanya mendengar sepotong ceritanya, wajar jika Felix melontarkan kalimat tanya seperti itu. Pasalnya Aletha belum menceritakan semuanya secara rinci, hanya mengungkapkan beberapa penggal kata yang mengganjal di ujung lidahnya.
Aletha menoleh. Dipandanginya lelaki berdarah Australia yang duduk di sebelahnya itu dengan saksama. Sang lelaki Lee justru berbalik menatapnya dengan penuh tanya.
"Kalo lo jadi gue, apa lo masih berminat buat tinggal di sana?" Ujarnya retoris.
Felix menyerit, "biasanya lo gak peduli. Mau alasannya apa kek, selama gratis mah lo terima-terima aja."
"Gak bisa buat kali ini, Lix. Omongan bapak-bapak itu udah terlanjur bikin gue sakit hati," ucap gadis itu seraya menampik pandangan ke arah lain.
Laki-laki bermarga Lee itu tak lagi buka suara. Ia hanya memandang lamat-lamat wajah Aletha dari samping. Meski terpancar semburat kepedihan dalam binar matanya, dari sepengelihatan Felix, sorot mata Aletha justru menjurus dalam amarah dan rasa benci. Ia bisa memaklumi, toh jika ia mendapat perlakuan serupa pasti ia juga akan merasa sama kesalnya seperti Aletha.
Selama tiga tahun dirinya kenal dekat dengan Aletha, Felix nyaris tak pernah melihat raut wajah gadis itu menunjukan ekspresi seperti ini. Gadis itu biasanya cenderung tak peduli dengan apapun kecuali hal yang berurusan dengan dirinya sendiri, cenderung cuek dengan orang lain dan suka happy sendiri. Ia tak pernah murung hingga menjadi sosok sediam ini.
"Jadi, lo mau nginep di sini sampe kapan?" Tanya laki-laki itu basa-basi, setidaknya agar gadis itu tak terus-menerus bungkam. Sejujurnya ia sudah bisa menebak apa jawaban yang akan ia dengar.
"Sampe lo ngusir gue," jawab Aletha singkat dan seadanya. Tak mendengar respon, Aletha menoleh sekilas. "Boleh kan?" Timpalnya.
Felix memandanginya lamat-lamat, tersenyum simpul kemudian mengangguk samar.
"Iya, boleh. Nanti, kalo gue udah muak ngeliat lo mulu, pasti gue usir kok," ucap Felix bergurau.
Aletha membalas dengan tersenyum kecut lalu mengalihkan pandangannya ke sembarang seraya menyandarkan punggungnya pada sofa. Pikirannya mulai melayang dan beberapa saat kemudian ia mulai bergumam.
"Emangnya gue seburuk apa sih sampe semua orang benci gue?" Cicit gadis itu.
"Mereka cuma belum paham soal lo, Tha. Mereka gak—"
Refleks, Aletha menoleh. "Tapi kenapa lo masih peduli sama gue? Bukannya lo yang paling paham seberapa buruknya gue di mata orang-orang?"
Felix menghela napas berat. Pertanyaan sejenis ini yang selalu ia hindari. Bukan tanpa alasan, lidahnya terlalu kelu jika harus menjawab dengan sejujurnya. Ia takut semuanya berubah seketika setelah ia mengungkap apa alasannya. Ia tidak mau itu terjadi.
"Kenapa lo selalu ada buat gue, Lix?" Sambung gadis itu lagi.
Meski terasa berat untuk menjawab, pada akhirnya Felix tetap buka suara, seadanya.
"Gue yakin, lo gak sebodoh itu buat paham apa alasannya, Tha."
•
•
•
"Ayo lah, temenin gue!"
Aletha merengek di hadapan kedua orang laki-laki yang sama-sama sibuk menatap layar ponsel —yang satu hanya menggulir layar ponsel dalam posisi portrait, sedangkan yang lain fokus menatap layar ponsel dalam posisi landscap; sedang main game online.

KAMU SEDANG MEMBACA
[On Hold] Sweet Revenge
Fanfiction"Demi Macbook? Lo jadiin gue bahan taruhan demi Macbook?!" Wajar kan kalo Jaemin marah? ©Scarletarius, 2020