"Bucin!"
"Uhukk!" Jaemin yang tengah menyesap secangkir kopi hangat mendadak tersedak.
Laki-laki itu sudah menceritakan semua hal dengan sangat rinci tentang apa yang sedang ia alami sejak pintu lift tertutup hingga keduanya duduk berhadapan di salah satu meja sejak beberapa saat yang lalu. Meski sudah menjelaskan panjang lebar, namun respon yang ia dapat hanya sepenggal kata 'bucin' yang dimaksud sebagai cercaan.
"Dikatain bucin langsung bengek lo," ejek Haechan seraya tertawa renyah.
"Abis lo ngagetin, bangsat!" Sungut Jaemin tak mau kalah. "Lagian, apa-apaan dah? Di mana letak bucinnya?" Lanjutnya lagi heran sekaligus tidak terima.
Haechan mendecak, "dari semua yang lo bilang ke gue, itu udah cukup menggambarkan kalo lo tuh bucin banget sama Nara. Gak sadar lo?"
Kalimat Haechan berhasil membuatnya tak bergeming. Kini kepalanya mulai berkecamuk. Apakah yang dikatakan Haechan benar adanya? Dia itu... bucin?
"Kalo mau bucin tuh sama yang milik kita, Jaem, jangan ngebucinin punya orang," ucap Haechan lagi seraya tertawa.
"Bangsat! Bayar sendiri lo!"
"Ya elah, ngambekan mulu, kayak anak ABG."
"Bodo amat!"
Jaemin mendengus kasar lalu membuang pandangannya ke sembarang arah sembari meniup kumpalan asap yang mengepul dari cangkir di tangan lalu menyesapnya perlahan—mencari ketenangan.
Ada perasaan menyesal yang menjalar di hatinya sebab memilih untuk bercerita pada Haechan. Seharusnya ia ingat kalau laki-laki tersebut tidak akan pernah bisa diajak serius, jawabannya pasti selalu nyeleneh dan berujung membuatnya kesal.
"Tapi, gue gak paham deh, sama jalan pikiran lo. Gak masuk ke nalar gue gitu," ujar Haechan berusaha memecah keheningan.
Jaemin melirik laki-laki itu tanpa minat. "Elu bego sih, makanya gak paham," cibir laki-laki itu asal.
"Yhe si anjing, serius nih gue!"
"Cih, bisa serius lo?" Sahut Jaemin, membalas mengejek.
"Tau ah, gue mau balik aja," ucapnya merajuk sembari bangkit dari kursi.
"Eh, mau ke mana?! Ganti dulu duit gue, enak banget lo mau balik gitu aja!"
Haechan melotot, "apa-apaan?! Tadi lo yang bilang mau bayarin gue, kenapa sekarang gue disuruh ganti duit lo?!"
"Lo dari tadi cuma ngatain gue bucin doang, kagak ngasih masukan apa-apa. Enak aja masih berharap gratisan."
"Emang bener lo buc—"
Jaemin mengulur telapak tangannya, "dua ratus ribu."
"Apa-apaan! Kenapa jadi mahal banget?!"
"Lo udah abis kue tiga, anjir. Gak inget?"
"Ya, tapi gak sampe dua ratus ribu juga lah, sialan! Lo ngerampok itu namanya!"
Jaemin tak menggubris kalimat laki-laki itu. "Cepet, dua ratus ribu," ulangnya lagi.
Haechan berdiam diri di tempat dengan bibir mengerucut. Ia merasa seperti dijebak oleh temannya sendiri dengan alasan tidak suka disebut 'bucin', padahal itu memang benar adanya. Ia hanya menyampaikan fakta.
Di saat seperti ini, Haechan tidak punya pilihan lain selain menuruti apapun permintaan Jaemin. Andai dia tidak top-up saldo game online....
Penyesalan memang selalu datang terakhir kan?
"Jadi gue harus gimana?" Ujar Haechan pasrah sembari kembali duduk di kursinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[On Hold] Sweet Revenge
Fanfiction"Demi Macbook? Lo jadiin gue bahan taruhan demi Macbook?!" Wajar kan kalo Jaemin marah? ©Scarletarius, 2020