Aletha berdiri dalam diam, menatap lurus gundukan tanah yang masih basah juga dipenuhi taburan bunga-bunga segar. Sama halnya seperti jiwanya saat ini, tatapan yang ia layangkan juga kosong. Meski begitu, isi kepalanya begitu berkecamuk, sibuk memikirkan banyak hal dalam satu waktu sampai-sampai dirinya sendiri bingung harus melakukan apa selain mematung.
"Papi kenapa sih bikin Letha susah? Kenapa bikin semua orang susah?"
Suara pelan itu mulai mengudara, menjadi kalimat pertama yang terucap keluar dari bibir tipis gadis dua puluh satu tahun itu. Tatapannya agak memicing, seolah masih terpendam kebencian dan amarah.
"Apa Papi gak pernah mikir cuma karena uang tiga setengah miliyar Papi bunuh diri Papi sendiri kayak gini? Bahkan istri baru Papi dan anak kalian, sampai semua orang yang kerja di rumah juga ikut kena imbasnya.
"Kalo Papi gak berurusan sama kompetitor keluarganya Guanlin dari awal, Papi gak bakal dibenci sama Kakek dan Nenek. Mungkin Papi sama Mami juga gak akan sampai pisah. Dan aku... aku gak akan hidup dalam kebencian kayak sekarang."
Aletha benar-benar menekan tiap kata dari mulutnya, menjabarkan betapa marahnya ia atas apa yang dilakukan ayahnya.
"Terus sekarang Letha harus gimana? Letha gak mau pindah ke manapun, tapi Letha juga gak mau diteror Guanlin terus."
Sial.
Aletha menggigit bibir bawahnya yang mendadak bergetar. Perasaan tak nyaman mulai menyeruak ke seluruh ulu hatinya. Bola matanya memanas dan lambat laun mulai dilapisi oleh cairan bening yang sudah siap tumpah.
Perasaannya terlalu campur aduk, sulit menjelaskan kenapa ia mendadak ingin menangis.
Gadis itu menghela napas kasar seraya membuang arah pandangnya ke sembarang sejenak. Tenggorokannya mendadak tercekat. Kaki juga mulai gemetar.
Dan sampai lah pada puncaknya.
Beberapa tetes air mulai mengalir dari pelupuk matanya. Berbarengan dengan itu, telapak tangannya dengan sigap menyeka jejak-jejak air di wajahnya itu dengan kasar.
Tapi bukannya kunjung reda, air matanya justru mengalir semakin deras. Kakinya gemetar hebat sampai melemas. Gadis itu berjongkok dengan suara isak tangis yang semakin sulit untuk ditahan.
Ia menangis sejadi-jadinya.
Rasanya menyesakkan kala mulutnya tidak bisa mengatakan apapun yang sudah ia pikirkan sejak awal niat kedatangannya ke tempat ini.
Mungkin karena terlalu sering gengsi, mulutnya jadi tidak bisa terkontrol. Sulit mengatakan apa yang hatinya ingin ucapkan.
Tujuan awalnya datang karena ingin meminta maaf. Tapi yang keluar dari mulutnya justru kalimat pedas nan menyakitkan yang tak seharusnya siapapun katakan pada orang yang sudah mati. Terlebih pada mendiang ayah sendiri.
Di dalam hati kecil gadis itu berujar penuh harap, meminta agar ayahnya memaafkan semua perbuatan buruk atas semua kesalahpahaman yang terjadi. Ia tulus meminta maaf atas semua tindakan juga kalimatnya yang kurang ajar. Meminta maaf karena pernah membencinya.
Meski hanya dalam hati, ia berharap jika Papi bisa mendengar semuanya dari atas sana.
.
.
.
"Lo harus banget nurutin Guanlin, Tha?"
Aletha menghela napas berat. Setelah menjabarkan kronologi lengkapnya pada Felix, laki-laki itu masih mempertanyakan hal retoris seolah tidak tahu apa jawabannya. Seolah tidak mengerti apa yang Aletha takutkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[On Hold] Sweet Revenge
Fanfiction"Demi Macbook? Lo jadiin gue bahan taruhan demi Macbook?!" Wajar kan kalo Jaemin marah? ©Scarletarius, 2020