Gerakan Yunseong untuk membuka pintu toko rotinya jadi terhenti ketika dirasanya ada sebuah tepukan pelan di pundaknya. Ia pikir itu mungkin Jihoon atau Yoshi. Tapi, saat ia menoleh, yang dilihatnya justru Minhee yang tengah tersenyum manis padanya.
“Selamat pagi, kak Yunseong.”
Tidak langsung menjawab sapaan manis Minhee, lelaki Hwang itu menatap si manis beberapa saat kemudian lalu melirik ke belakang si manis—memastikan dengan siapa ia datang. Tapi, tidak ada siapa-siapa di sana.
“Selamat pagi.” Bergumam samar untuk membalas sapaan Minhee, Yunseong lalu menumpuhkan seluruh tatapannya pada Minhee. "Lo ngapain pagi-pagi ke sini?”
“Mau ketemu kak Yunseong.”
“Ketemu gue?” Lalu, saat si manis mengangguk cepat sebagai jawaban, lelaki Hwang itu terlihat mengerutkan keningnya heran. “Buat apa?”
“Gak boleh?”
“Bukan gitu. Maksudnya, ini masih terlalu pagi. Lo gak kerja?”
“Libur.”
“Libur?” Si manis memberikan anggukan cepat lagi. “Sampe kapan?”
“Kapanpun gue mau.”
“Bisa gitu?”
“Bisalah. Kalo kata pak Seungwoo mah gue bos, bebas ngelakuin apa aja.”
Yunseong tidak menjawab apa yang Minhee katakan. Ia hanya mengangguk sekilas sebelum berbalik hendak membuka pintu tokonya lagi.
“Bos ya...”
“Gimana, kak?”
“Gak apa-apa.”
Setelah membuka pintu toko, Yunseong lalu mempersilahkan Minhee untuk masuk lebih dulu. Ia tahu pasti jika bocah Kang itu pasti akan mengikutinya sepanjang hari ini. Dan dari pada tidak nyaman, ia pikir itu cukup bagus sehingga ia tidak perlu repot mencari Minhee ke kantor atau ke rumahnya.
“Kak, kok gak ada rotinya?”
“Kan baru mau dibuat.”
“Yang kemarin?”
“Ya udah habis.”
“Terus, kenapa kakak gak siapin dari semalam aja. Jam segini biasanya orang nyari sarapan loh.”
“Semalam gue pulang telat. Biasanya juga gue pagi buta ke sini buat bikin rotinya. Tapi karna itu ya hari ini gue bukanya siangan aja.”
“Kakak bikin sendiri rotinya? Gak ada kokinya gitu?”
“Gak.”
“Yang jaga kasir?”
“Gue juga.”
“Ini beneran kakak sendiri yang ngurus?”
“Ya iya, kan punya gue.”
Jawaban santai yang Yunseong berikan membuat Minhee tidak dapat menahan diri untuk menatap lelaki Hwang itu dengan tatapan takjub. Sedang yang ditatap nampak acuh dan mulai berjalan ke arah ruang penyimpanan bahan untuk mengambil beberapa bahan dari sana.
“Btw, kakak belajar bikin roti dari siapa?”
Pertanyaan itu Minhee ajukan saat Yunseong sudah mulai menimbang bahan untuk membuat rotinya. Sehingga lelaki Hwang itu hanya memberikan jawaban seadanya tanpa menatap si manis.
“Mama.”
“Mama kakak di mana sekarang?”
“Udah gak ada.”
“Gak ada?”
“Meninggal bunuh diri karna stres.”
“Kak, maafin gue. Gue gak maksud.”
“Santai, udah lama dan lo juga gak tahu.” Menjawab acuh, Yunseong lalu melempar tatapannya pada Minhee. “Btw, lo sini coba.”
“Ngapain?” Minhee bertanya dengan kerutan di keningnya, tapi ia tetap melangkah ke arah Yunseong.
Sampai di depan Yunseong, lelaki Hwang itu lalu menempatkan si manis di hadapan mixer rotinya. Ia sendiri berdiri di belakang si manis dengan tangan kiri berada di pundak si manis.
“Karna lo udah di sini, gue ajarin lo cara bikin roti.”
“Gak usah kali, kak. Ini kan tinggal masuk sini terus tekan tombolnya.”
Lalu, jawaban yang Minhee berikan sukses membuat Yunseong mendengus malas. Detik berikutnya, tangan si tampan Hwang itu bergerak untuk mendorong pelan kening Minhee.
“Gak gitu juga, bocah.”
“Gak gitu gimana? Ini kan tinggal masukin tepung, gula, telur, air, mentega, apa sih ini yang coklat kecil? Butiran debu ya?”
“Kenapa gak sekalian butiran pasir aja?”
“Oh, itu pasir?”
Sahutan Minhee dengan wajah polosnya membuat Yunseong melongoh. Sungguh ini Minhee? Maksudnya, bocah ini terlalu polos atau bodoh sih?
“Bukan, itu lumpur.”
“Lumpur kok gak basah?”
Haha, untung gak iya iya aja.
“Tau ah. Lagian mana ada orang buat roti pake lumpur, pasir atau debu? Yang ada rumah sakit penuh nanti.”
“Kali aja gitu kan, kak.”
“Serah lo.” Menjawab malas, Yunseong lalu mendorong pelan Minhee menjauh dari mixernya. “Mending lo minggir aja sana.”
“Ih kok marah? Kan lo yang manggil gue ke sini.”
Lalu, jawaban yang Minhee berikan sukses membuat Yunseong menatapnya dengan tatapan melotot. Tangan kanan lelaki Hwang itu hampir saja terangkat untuk melakukan sesuatu padanya. Tapi, si manis justru menatapnya dengan tatapan polos tanpa dosa.
“Lo tuh ya, Hee.”
“Kenapa?”
“Gemes banget, pengen gue pukul.”
“Kok jahat?”
“Ya habisnya kelakuan lo gini banget sih. Kemarin-kemarin juga kalo makan atau ngelakuin apa gitu, selalu aja gak masuk akal pertanyaan lo. Jadinya pengen gue pukul.”
“Jangan dipukul juga dong, kak.”
“Gemes, Hee. Lo ngerti gak sih?”
“Ya kalo gemes, cium aja. Jangan dipukul. Pukul sakit tahu.”
“Orang kalo gemes, cubit loh, bukan cium.”
“Terus kakak tuh mau pukul.”
“Biar beda.”
“Gak, sama aja itu mah.”
“Sama apanya?”
“Sama-sama sakit. Jadi, kalo lo gemes sama gue, cium aja.”’
“Ya udah sini lo gue cium.”
“Hah?”
Thank you...
KAMU SEDANG MEMBACA
Boys be Ambitious || HwangMini
FanfictionAwalnya, hidup keduanya terlampau biasa saja, terlalu datar dan hanya berjalan apa adanya. Tapi tidak lagi setelah mereka bertemu. Karena setelah hari itu, ada ambisi rahasia di diri masing-masing, membuat hidup yang awalnya biasa-biasa saja, menjad...