Awalnya, hidup keduanya terlampau biasa saja, terlalu datar dan hanya berjalan apa adanya. Tapi tidak lagi setelah mereka bertemu. Karena setelah hari itu, ada ambisi rahasia di diri masing-masing, membuat hidup yang awalnya biasa-biasa saja, menjad...
Tapi, Yunseong tidak memberikan jawaban apapun. Yang ia lakukan adalah mengulurkan tangannya untuk kembali menyeka sisa selai—kali ini di sudut bibir Minhee—sebelum membawa jarinya untuk ia bersihkan dengan mulutnya. Tapi, baru juga jarinya sampai di ujung bibirnya, Minhee sudah lebih dulu menahan tangannya.
“Ngapain sih? Jorok tahu.”
“Lo tuh yang makannya jorok. Ini gue cuma mau bersihin.”
“Ya, gak gitu juga kali.”
Jawaban yang Minhee berikan setelah itu membuat Yunseong diam. Ia lalu diam lebih lama sambil menunduk untuk menatap Minhee yang kini mendongak dan menatapnya. Hingga setalah hampir dua menit berlalu, ia merunduk—memposisikan dirinya berhadapan langsung dengan wajah Minhee.
Minhee terlihat cukup kaget dengan posisi yang Yunseong ambil secara tiba-tiba ini. Tapi, hingga lelaki Hwang itu memajukan wajahnya dan mulai menjilat permukaaan serta sudut bibirnya, ia tetap diam pada posisi yang sama.
Lalu, ketika Yunseong hendak bergerak menjauh, kedua tangannya secara alami naik ke leher si Hwang itu—menahannya pada posisi yang sama. Ia kemudian melirik ke arah pintu masuk toko selama dua menit sebelum kembali menumpuhkan tatapannya pada manik indah Yunseong.
Yunseong juga diam. Hampir tiga menit mereka bertahan pada posisi sedekat itu. Entah apa yang terjadi selanjutnya, keduanya masih sibuk mengagumi satu sama lain dalam diam mereka. Dan entah siapa juga yang memulai, saat kedua bilah bibir mereka sudah bertemu, kecupan-kecupan kecil lalu lumatan-lumatan secara bergantian diberikan satu sama lain.
Suasana toko yang sepi menambah durasi kegiatan mereka. Bahkan hingga Yunseong sudah mulai lelah dengan posisinya saat ini, tangan kanannya yang mulai bergerak untuk merengkuh pinggang Minhee dan menarik si manis untuk berdiri—tautan itu masih belum terlepas.
Minhee memperat pelukannya di leher Yunseong saat ia sudah berdiri dan si Hwang itu menariknya untuk lebih dekat hingga tubuh mereka saling menempel. Gerakan saling bertukar saliva itu masih berlanjut—entah kapan akan selesai, mungkin setelah salah satu merasa oksigen lebih penting dari ciuman itu.
“Aku suka sama kakak. Kakak suka juga sama aku gak?”
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jihoon memasang tatapan setajam silet dan terus mengikuti setiap gerakan yang dilakukan Yunseong sejak lelaki Hwang itu sampai di cafe tempat biasa mereka menghabiskan waktu luang—dengan Minhee dalam genggaman tangannya. Entah apa yang salah, tapi matanya tidak bisa berhenti menatap mereka.
“Awas keluar tuh mata.”
Jika biasanya Yoshi, kali ini yang menganggu si manis Park itu justru kekasihnya sendiri. Yoonbin memang duduk di samping Jihoon dan tengah sibuk menikmati berbagai macam makanan yang sudah dipesan.
“Diam! Gue lagi memperhatikan sebuah keanehan.”
Tidak peduli dengan apa yang Yoonbin katakan, Jihoon hanya menjawab ucapan kekasihnya itu dengan acuh—saat Yunseong sudah menyuruh Minhee untuk duduk di depannya, sedang lelaki Hwang itu pergi entah kemana.
“Aneh gimana?”
“Liat ini, Ben.” Menjawab ucapan Yoonbin dengan cepat, tangan Jihoon bergerak cepat juga untuk menunjuk wajah Minhee.
“Apa?”
“Bibir adek lo bengkak.”
“Hah?” / “Hah?”
Ben melongoh kaget, sama halnya dengan Minhee. Keduanya lalu menatap Jihoon yang masih menumpuhkan seluruh tatapannya pada Minhee. Hingga pada detik kesekian, Yoonbin jadi ikut menatap Minhee. Sedang yang mereka tatap hanya diam dan mengerjap beberapa kali dengan perasaan yang sulit dijelaskan.
“Kenapa sih, kak?” Pertanyaan itu Minhee ajukan sambil mundur, lalu membuat gerakan agar kedua kakak itu tidak menatapnya terus.
“Bener loh, Hee. Bibir kamu bengkak. Habis ngapain?”
“Gue curiga, Ben. Dia pasti habis nganu sama Yunseong.”
Minhee belum memberikan jawaban untuk pertanyaan sang kakak, tapi Jihoon sudah berucap lebih dulu. Yang sukses saja membuat kedua saudara sepupu itu menatapnya tak senang.
“Mulut lo ya, Ji.”
“Ya, siapa tahu aja, kan? Mereka bisa ciuman depan kita, siapa yang tahu apa yang bisa mereka lakuin di belakang kita? Apalagi nih adek lo belakangan ini nempel mulu sama Yunseong. Gue curiga dia udah godain Yunseong buat tidurin dia.”
“Ji!”
“Gue gak semurahan itu ya, kak. Sesuka apapun gue sama temen lo, gue masih punya harga diri buat gak ngelakuin hal...”
Minhee tidak menyelesaikan ucapannya karena ponsel dalam saku jaketnya yang berdering keras. Ia lalu mendengus kesal sebelum meraih benda itu—dengan tatapan tidak senang yang masih diarahkan pada Jihoon yang nampak acuh. Lalu, saat ia melihat apa yang menyebabkan deringan keras tadi, sebuah kerutan lantas tercipta di keningnya.
Diam sesaat, pemilik marga Kang itu lalu beranjak dari duduknya. Ia lalu bergerak keluar dari cafe itu tanpa peduli dengan Jihoon ataupun Yoonbin. Seluruh tatapannya masih terfokus pada layar ponselnya. Lalu, saat ia sudah sampai di luar, ia segera menggeser ikon telpon berwarna hijau pada layar ponselnya dan menempelkan benda itu ke sisi telinga kanannya.
“Hal...”
Tapi, belum juga ia selesai berucap untuk menyapa orang yang menelponnya, sesuatu yang menyentuh pundaknya sukses membuatnya diam begitu saja.
“Hallo, Kang Minhee.”
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.