Sudah hampir tengah malam, tapi Minhee masih bertahan di ruangan kantornya. Ia masih berkutat dengan setumpuk berkas yang rasanya bisa membuatnya gila. Tapi, ia tidak bisa melakukan apapun untuk lari dari tanggung jawab itu—tidak ada yang bisa menggantikannya saat ini.
Memilih menyerah pada saat masih ada sekitar belasan map tersisa, pemilik marga Kang itu lalu menatap ke arah jam yang ada di sudut meja. Menghela napasnya, ia lalu mengusap wajahnya kasar dan menutup map itu. Dirapikannya meja beberapa saat kemudian, map tadi ditumpuknya pada map lain yang belum selesai diperiksanya.
Setelahnya, ia meraih ponselnya yang ada di laci meja dan berjalan keluar ruangan itu.
Suasana kantor sudah sepi—jelas saja—karena jam kerja sudah berakhir beberapa jam yang lalu. Bisa jadi hanya ia dan para petugas keamanan yang tersisa di tempat itu.
Saat berhasil keluar dari bangunan itu, ia sempat bertemu dengan petugas keamanan. Menyapa mereka dengan riang, langkahnya lalu ia bawah menuju ke jalanan utama di depan gedung.
Sudah sepi juga.
Menatap ke arah kanan dan kirinya, pemilik marga Kang itu kembali meraih ponsel di saku celananya dan memeriksa jam di sana. “Gak ada taksi lagi ya jam segini. Jalan kaki ajalah.”
Bergumam dengan santai, ia kembali memasukan ponselnya ke dalam saku celananya. Kakinya lalu ia bawah bergerak ke arah zebra cross yang tidak jauh dari tempatnya berdiri tadi. Lalu, saat ia akan pergi untuk menyebrang jalan—kehadiran seseorang di seberang jalan sana membuatnya diam di tempat beberapa saat.
Cukup lama Minhee diam di tempatnya. Maniknya masih terpaku pada orang di depan saja—yang entah sedang menatap apa. Hingga orang itu menggerakan matanya dan manik mereka bertemu. Minhee sempat tersentak kecil dan diam lagi. Tapi, itu tidak berlangsung lama karena ia langsung menggerakan bibirnya untuk mengukir sebuah senyum manis.
“Gue mau lo, kak.”
Sudah lebih dari dua jam Yunseong duduk di halte di depan sebuah bangunan besar di seberang jalan sana. Selama itu, tidak ada hal berarti yang ia lakukan. Ia benar-benar hanya duduk dan memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang keluar masuk dari sana.
Sudah lebih dari dua jam, itu artinya setelah ia menutup toko rotinya, ia benar-benar hanya pergi ke situ dan diam saja di sana. Entah apa yang terjadi dengan dirinya, ia hanya merasa ingin duduk di situ dan melihat gedung di seberang sana.
Lalu, saat tengah malam hampir datang, ia memutuskan untuk pulang. Beranjak dari duduknya, ia lalu melangkah ke arah zebra cross. Ia akan berjalan kaki untuk pulang—seperti malam-malam sebelumnya. Tapi, saat sudah sampai di ujung zebra cross dan harusnya ia langsung menyebrang—langkahnya ia tahan lagi untuk menatap gedung tadi lagi—cukup lama.
“Gue mau lo.”
Hingga saat ia menggumamkan kalimat itu dalam diamnya, ia barulah mengalihkan tatapannya dari gedung itu. Tatapannya kini mengarah ke depan, sudah akan menyeberang—tapi kembali tidak jadi saat maniknya bertemu dengan manik indah penuh binar cantik yang baru tadi siang ia lihat untuk pertama kalinya.
Kang Minhee.
Bocah itu sudah memasang senyum di wajah indahnya sebelum melangkah lebih dulu untuk menyeberang jalan. Yunseong tidak tahu si manis Kang itu akan kemana, tapi ia benar-benar tidak jadi melangkah pergi—bahkan hingga Minhee sampai ke hadapannya.
“Hai, kak Yunseong...”
Masih dengan senyum yang sama, bocah Kang itu menyapanya lebih dulu. Tapi, ia sama sekali tidak berniat untuk membalas senyum itu. Tidak ada juga kerutan samar yang menghiasi wajahnya—sekalipun ia penasaran dari mana Minhee tahu namanya.
“Gue tahu nama lo dari kak Ben.”
Satu informasi diberikan tanpa Yunseong bertanya, tapi ia masih tidak berniat untuk menjawabnya. Minhee sendiri masih berdiri dengan senyum yang sama.
“Kakak mau kemana malam-malam begini? Di sini udah sepi loh. Kakak gak... Eh?”
Yunseong tidak tahu apa tujuan Minhee berbicara padanya dan ia juga tidak peduli. Tapi, ia tidak bisa untuk kembali tidak tertarik saat seorang pria paruh baya datang dan menepuk pelan pundak si manis—membuat bocah itu kaget dan menatap pelaku penepukan itu.
“Tuan Minhee ngapain di sini?” Orang itu bertanya lebih dulu.
“Bapak sendiri ngapain di sini?” Dan dibalas Minhee dengan pertanyaan lainnya. “Saya kan udah sering bilang sama bapak, kalo udah selesai jam kerja, saya udah selesai kerja atau belum, bapak pulang aja. Ini udah malam loh, kalo bapak sakit gimana?”
“Tapi, saya kan supir tuan. Udah tugas saya buat anter jemput tuan, kapanpun itu.”
“Saya yang gak enak loh, pak.”
“Tapi ini udah lama, tuan.”
“Saya juga udah lama bilang, jangan buat saya bergantung sama ini semua.” Tidak ada jawaban dari supir itu, membuat Minhee menghela napasnya pelan. “Ya udah kalo bapak udah di sini. Anterin saya aja.”
Yunseong masih menatap mereka, hingga Minhee berbalik dan menatapnya juga. Senyum manis itu kembali merekah dengan indah. “Kak Yunseong udah mau pulang? Kalo udah mau pulang, gue anterin mau?” Kali ini, tanpa menunggu Yunseong langsung menggeleng. “Ya udah kalo gitu. Hati-hati di jalan ya, kak. Selamat malam.”
Setelah mengatakan semua kalimat itu, Minhee berbalik—melangkah pergi begitu saja. Sedang pria yang mengaku sebagai supir Minhee itu masih diam di posisi yang sama. Ia menatap Yunseong selama beberapa saat sebelum merunduk pamit dan pergi.
“Apapun itu, gue tetap mau lo.”
Thank you...
KAMU SEDANG MEMBACA
Boys be Ambitious || HwangMini
FanfictionAwalnya, hidup keduanya terlampau biasa saja, terlalu datar dan hanya berjalan apa adanya. Tapi tidak lagi setelah mereka bertemu. Karena setelah hari itu, ada ambisi rahasia di diri masing-masing, membuat hidup yang awalnya biasa-biasa saja, menjad...