Hari sudah berganti. Yunseong pergi untuk membuka tokonya dan Minhee tidak bisa ikut karena lagi-lagi ada pekerjaan yang harus diurusnya. Jadi, keadaan toko Yunseong kembali seperti sedia kala saat lelaki Hwang itu belum mengenal Minhee.
Yunseong sibuk sendiri dengan semua pekerjaannya bahkan ketika Jihoon datang lagi. Hari ini, pemilik marga Park itu datang sendiri, entah Yoshi sedang kemana. Tapi, Yunseong juga tidak berniat menanyakan dimana keberadaan teman Jepangnya itu.
Jihoon yang datangpun hanya duduk di kursi di depan meja bar dan memperhatikan orang-orang yang datang berbelanja sambil menikamati roti yang ia pesan. Tidak ada percakapan berarti yang tercipta. Jihoon memang sesekali mengajukan pertanyaan tidak jelas, tapi Yunseong sama sekali tidak menanggapinya.
“Seong, semalam lo beneran nginap di rumah Minhee?”
Baiklah, yang satu itu mungkin lebih jelas dan Yunseong harus menanggapinya.
“Hm.”
Tapi, jangan berharap banyak.
“Gue masih penasaran deh.”
“Tentang apa?”
“Minhee.” Menjawab cepat, Jihoon lalu memasukan potongan roti ke dalam mulutnya sebelum melanjutkan ucapannya. Sementara Yunseong sudah memasang fokus lebih untuk mendengar apa yang akan sahabatnya itu katakan. “Gue penasaran, Ben cerita kalo kejadian kemarin tuh karna dia trauma sama orang yang pernah coba buat bunuh dia dulu. Kenapa ya, orang itu mau bunuh dia?”
“Kenapa lo nanya gitu?”
Tidak langsung menjawab ucapan Yunseong, Jihoon menatap ke rotinya selama beberapa saat sebelum mendongak dan menatap lelaki Hwang itu.
“Ya, gue mikir aja. Walaupun dia tuh suka ngerepotin Ben dan ngeselin, gue tahu dia anak baik. Dari tampangnya aja udah nunjukin kalo dia emang anak baik-baik. Kayak, dia ngelakuin apa sih sampe ada orang yang setega itu berusaha berkali-kali buat lenyapin dia?”
Yunseong belum memberikan jawabannya dan Jihoon sibuk sendiri dengan pemikirannya. Lalu, saat Yunseong akan membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu pada sahabatnya itu, dering ponsel Jihoon yang terletak di atas meja bar membuat perhatian mereka beralih pada benda itu. Ada telpon masuk dari Yoonbin.
Dengan gerakan cepat, Jihoon lalu meraih benda persegi itu untuk menjawab telpon dari kekasihnya. Dan saat mendengar apa yang Yoonbin katakan di ujung sana, Jihoon tidak dapat menahan dirinya untuk mengumpat begitu saja.
“Hee, mikirin apa sih?”
Minhee yang sejak tadi hanya diam sambil menatap makanannya seketika mendongak dan melempar tatapan pada Asahi—sumber pertanyaan tadi. Saat ini, ia memang sedang berada di salah satu tempat makan yang tidak jauh dari kantor bersama Asahi dan Junho.
“Hm?” Lalu saat pemilik marga Kang itu mendapat tatapan menyelidik dari kedua orang yang bersamanya, ia lantas menggeleng begitu saja. “Gak ada kok.”
“Masa sih?” Kali ini, pertanyaan datang dari Junho. “Dari pagi juga lo keliatan kayak banyak pikiran. Gak mungkin kalo gak ada yang lo pikirin.”
“Emang gak ada, kok.”
“Hee, gue bukan baru kenal lo kemarin. Kalo lo lupa, gue liat lo lahir dulu.”
Ucapan Junho setelah itu sukses membuat mendengus malas. Tangannya yang semula memegang sendok lantas ia lepaskan begitu saja. Melirik sekilas keluar melalui dinding kaca, ia lalu kembali menatap kedua orang itu bergantian.
“Gue mikirin hati gue.”
“Hah?”
“Hati lo kenapa, anjir? Lo hepatitis?”
Jika Asahi nampak tidak mengerti, Junho justru punya asumsi lain yang sukses membuat Minhee hampir saja melemparnya dengan gelas yang ada di depannya.
“Mulut lo ya, bangsat.”
“Ya, habisnya lo bilang hati lo sih. Gue kira lo sakit hati yang beneran kayak hepatitis gitu.”
“Bacot lo.”
“Jadi, kenapa tuh hati?”
“Gak apa-apa. Males gue cerita sama lo berdua.” Menjawab malas, Minhee lalu beranjak dari duduknya begitu saja. “Dah, gue mau balik duluan.”
“Heh anjing, lo belum makan?”
“Gak usah aja. Udah gak napsu.”
Minhee benar-benar mengabaikan apa yang akan Junho atau Asahi katakan setelah itu. Karena ia tetap melangkah keluar dari tempat makan itu.
Keluar dari tempat makan itu, Minhee tiba-tiba menghentikan langkahnya begitu saja. Diam selama beberapa saat, ia lalu menoleh ke kanan—tepat saat seseorang dengan masker dan topi muncul di hadapannya. Tersenyum kecil, ia lalu kembali menatap ke depan dan mulai melangkahkan kakinya begitu saja.
Bohong jika ia bilang ia tidak takut. Nyatanya, ia sudah sangat khawatir akan ditarik dari tempat itu lalu dibawa entah kemana sebelum dicoba untuk dibunuh lagi. Tapi, ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri jika orang itu tidak akan melakukan apapun padanya selagi ia masih berada di tempat ramai.
Mempercepat langkahnya saat sudah menyebrang jalan dan menuju ke gedung kantornya, pemilik marga Kang itu segera meraih ponselnya dari saku celananya. Dengan gerakan berantakan ia berusaha menyalakan benda itu untuk menghubungi seseorang.
“Dia... di-dia datang lagi....”
Thank you...
KAMU SEDANG MEMBACA
Boys be Ambitious || HwangMini
FanfictionAwalnya, hidup keduanya terlampau biasa saja, terlalu datar dan hanya berjalan apa adanya. Tapi tidak lagi setelah mereka bertemu. Karena setelah hari itu, ada ambisi rahasia di diri masing-masing, membuat hidup yang awalnya biasa-biasa saja, menjad...