Awalnya, hidup keduanya terlampau biasa saja, terlalu datar dan hanya berjalan apa adanya. Tapi tidak lagi setelah mereka bertemu. Karena setelah hari itu, ada ambisi rahasia di diri masing-masing, membuat hidup yang awalnya biasa-biasa saja, menjad...
Yunseong menghela napas, lalu menarik Minhee untuk ia dekap lebih erat. Sudah lewat tengah malam tapi keduanya sama-sama belum tidur—walau sudah mengambil posisi saling berpelukan di atas tempat tidur.
Yunseong tidak tahu apa yang Minhee pikirkan, tapi kedua manik bocah itu masih terbuka dan terpaku menatap dadanya dengan tatapan kosong. Membuat ia menghela napas berat sebelum bergerak mengelus puncak kepala si manis dan membuat pemilik marga Kang itu mendongak dan menatapnya.
“Belum bisa tidur?”
Saat pertanyaan itu ia ajukan, Minhee tak langsung memberikan jawaban. Pemilik marga Kang itu masih diam selama beberapa saat sebelum berdehem samar dan kembali menatap dadanya dengan tatapan kosong yang sama.
“Gak apa-apa. Gue di sini, kok.” Membuat Yunseong jadi mengucapkan kalimat itu sebelum menarik si manis untuk bersandar di dadanya.
Tidak ada tangisan.
Sejak apa yang terjadi tadi, Yunseong sama sekali tidak melihat Minhee menangis. Pemilik marga Kang itu benar-benar ketakutan tapi ia sama sekali tidak mengeluarkan setetes air matapun dari manik indahnya. Yang membuat Yunseong jadi berpikir jika beban bocah itu lebih besar. Tidak ada emosi yang dikeluarkan, bukankah itu lebih berbahaya?
Dan Yunseong jadi semakin khawatir dengan keadaan Minhee.
“Hee, lo jangan gini dong. Gue gak mau lo kenapa-napa.”
Jeda selama beberapa saat lagi, Minhee akhirnya mendongak dan kembali menatap Yunseong. “Gue gak apa-apa, kak. Cuma takut aja... sama cape.”
“Cape?”
Si manis mengangguk kecil. Di detik berikutnya, Yunseong menggerakan tangannya untuk memainkan surai lembut Minhee.
“Gue udah cape hidup kayak gini. Rasanya pengen lari aja. Tapi, gue gak bisa lari gitu aja.”
“Kenapa gitu?”
“Gue ingat pesan sepasang suami istri—bukan orang tua gue. Mereka pernah bilang, jangan pernah lari dari masalah. Karna lari bukan jalan buat nyelesaiin masalah itu.”
“Dan lo mikir harus ngelakuin itu?”
Minhee mengangguk. “Gue gak akan bisa lari gitu aja. Gue harus nyelesaiin semua kekacauan yang orang tua gue buat dulu. Dan gue harus mastiin kalo semuanya baik-baik aja, sama persis kayak yang ditinggalin dulu sebelum dibalikin ke pemiliknya.”
“Apa yang mau lo balikin?”
“Semuanya.” Diam sesaat lagi, Minhee yang tadi sempat menatap kosong ke depan, kembali menatap Yunseong. “Termasuk hidup gue.”
Selanjutnya, tidak ada jawaban dari Yunseong. Lelaki Hwang itu tetap diam dan menatap Minhee yang kini sudah tersenyum kecil. Hingga pada detik kesekian, bocah itu memutus kontak mata mereka sebelum bersandar di dadanya. Tangan Minhee yang ada di pinggangnya pun perlahan bergerak untuk mempererat pelukannya.
“Kak?”
“Kenapa?”
“Gak apa-apa, manggil aja.”
“Hm?”
“Gue mau mastiin kalo lo masih di sini, lo gak ninggalin gue sendirian malam ini. Gue takut kalo gak ada siapa-siapa di samping gue. Karna gue gak yakin, gue bisa bertahan kayak dulu atau enggak.”
“Orang itu... udah pernah coba buat bunuh lo berapa kali?”
“Berapa ya?” Jeda sesaat, Minhee bergerak sedikit di posisinya saat ini sebelum melanjutkan jawabannya. “Gue gak ingat pasti berapa kalinya, tapi lumayan banyak. Sampe yang terakhir dia berhasil ditangkap dan dimasukin kak Ben ke penjara. Tapi, gue gak tahu kalo dia udah bebas dan sekarang nyari gue lagi.”
“Lo kenal dia?”
“Gue udah bilang sama lo tadi, kak, kalo gue gak kenal dia. Seumur hidup gue, yang gue lakuin cuma berusaha buat narik perhatian orang tua gue. Gue gak punya temen sekalin Juno sebelum gue kenal sama Asahi. Dan sodara yang deket sama gue cuma kak Ben.”
“Kenapa dia ngelakuin itu ke lo?”
“Dia bilang kalo gara-gara gue, hidup temannya berantakan, hancur. Dia bilang, seharusnya hidup gue yang hancur. Padahal selama ini gue gak pernah ngelakuin apa-apa. Entah apa kesalahan gue yang dia maksud, sampe sekarang gue gak pernah nemu kesalahan itu.”
“Dia pernah bilang siapa temannya?”
“Gak pernah. Dia cuma bilang ‘temen gue’ tanpa nyebut nama.”
“Lo pernah liat mukanya?”
“Pernah. Orang luar.”
Jawaban Minhee setelah itu membuat Yunseong diam—meskipun otaknya sibuk berpikir tentang siapa orang asing yang mencoba membunuh Minhee. Yunseong tahu jika ia tentu tidak akan menemukan jawabannya, tapi otaknya tidak mau berhenti memikirkan hal itu.
Hingga saat matanya tidak sengaja menatap jam yang ada di atas nakas samping tempat tidur Minhee, ia kembali menepuk pelan puncak kepala si manis sebelum mendaratkan sebuah ciuman di sana.
“Jangan lo pikirin lagi. Gue di sini, gue gak akan ninggalin lo.”
“Beneran?”
“Hm. Jadi, lo tidur ya. Udah mau dini hari ini.”
“Kak, maaf ya, kalo gara-gara gue besok lo gak bisa buka toko.”
Minhee tidak melakukan apa yang Yunseong katakan, ia malah menjauhkan wajahnya dari dada Yunseong dan kembali mendongak menatap lelaki itu setelah mengatakan kalimat tadi.