“Bang, lo dimana?”
“Jalan.”
“Balik?”
“Gak.” Melirik sekilas ke sekitarnya, Yunseong tetap melanjutkan langkahnya sebelum menjawab ucapan orang di ujung sana. “Mau ke tempat Minhee.”
“Nginep lagi lo?”
“Hm.”
“Buset, betah ya lo.”
“Kasih gue alasan kenapa gue harus gak betah.”
“Anjir, tapi iya juga sih. Terlepas dari semua alasan yang lain, tidur sama Minhee doang emang udah bikin betah. Apalagi kalo bisa peluk-peluk dia. Paling mantap tuh kalo bisa sampe cium.”
“Jun...”
“Gak, bang. Bercanda.”
“Jadi, kenapa lo telpon gue?”
“Itu, ada yang mau gue tanyain sama lo.”
“Apa?”
“Lo lagi nyuruh orang buat ngikutin Minhee ya?”
Sebuah kerutan tercipta di kening Yunseong. Pada saat yang sama, ia juga menghentikan langkahnya begitu saja—karena matanya menatap seseorang di depan sana, tepat di tempat tempat tinggal Minhee.
“Gak. Gue gak nyuruh siapa-siapa buat ngikutin dia. Kenapa?” Jawab lelaki Hwang itu kemudian.
“Soalnya gini, bang. Tadi pas gue sama dia rapat di luar, gue liat kayak ada orang yang ngikutin dia. Awalnya gue gak yakin, kali aja itu emang orang yang kebetulan satu tujuan sama kita. Tapi pas gue sengaja ninggalin Minhee sendirian, dia tetap di sekitar Minhee. Gue kira itu orang suruhan lo.”
“Gue gak punya duit buat nyuruh orang ngikutin dia. Lagian, buat apa juga?”
“Oh iya, gue lupa.”
“Btw, lo liat muka tuh orang?”
“Gak. Dia pake masker sama topi, jadi mukanya gak keliatan jelas.”
“Oke. Lain kali kalo lo lagi sama Minhee dan ada dia, awasin dia. Gue matiin dulu, ada yang harus gue urus.”
Selanjutnya, tanpa peduli apa jawaban sepupunya di ujung sana, Yunseong memutuskan sambungan telpon itu lebih dulu. Matanya masih mengarah pada orang yang berdiri di depan tempat tinggal Minhee itu. Hingga saat ia sudah mengambil langkah kelima, orang itu menoleh ke arahnya dan dalam sepersekian detik kemudian langsung berlari pergi meninggalkan tempat itu.
Yunseong tidak mengejarnya. Berniatpun tidak. Tapi, ketika ia mengingat bagaimana orang itu melihatnya tadi, sebuah senyum miring lantas tercipta di wajahnya.
“Tunggu aja. Tunggu dan liat apa yang bakal gue lakuin sama lo karna udah berani gangguin gue.”
Minhee bersenandung kecil saat berjalan memasuki dapur. Niatnya ke sana untuk melihat apa ada sesuatu miliknya yang bisa ia makan sambil menunggu pesanan makan malamnya sampai. Ia sangat lapar sekarang.
Tadi pagi, ia melewatkan sarapan karena terlambat bangun dan Yunseong. Makan siangnya juga terlewat karena harus buru-buru ke kantor untuk menghadiri rapat penting bersama Junho tadi. Ia hanya menikmati hidangan ringan selama rapat tadi sehingga tidak salah kalau sekarang ia lapar bukan main.
Tapi, gerakannya untuk memasuki dapur jadi terhenti begitu saja saat maniknya menangkap ada bibi sedang sibuk di depan kompor sana. Ia ingin tetap masuk, tapi rasa tak enak membuatnya mundur lagi. Sayangnya, sebelum langkah mundur itu ia ambil, bibi lebih dulu menoleh bersamaan dengan seseorang yang mendorongnya untuk masuk ke sana.
Minhee gelagapan, tidak tahu harus mengahadapi yang mana lebih dulu.
“Eh, kok gini?”
“Lo ngapain?”
“Tuan Minhee ngapain?”
“Hah?”
Minhee masih bingung, sementara bibi dan Yunseong saling melirik sebelum kembali menatapnya. Dua detik kemudian, bibi maju lebih dulu setelah pergi untuk meletakan masakannya di meja makan.
“Tuan Minhee makan dulu ya, saya udah masak buat tuan.”
“Tapi kan, bi, saya...”
“Gak apa-apa. Tadi pagi tuan gak sarapan, gak sempet makan siang juga. Di kantor pasti gak sempet makan juga karna sibuk kerja.”
“Saya udah pesen makan, bi.”
“Gak apa-apa juga. Itu saya masakin buat tuan, jadi tuan makan ya.” Mengukir sebuah senyum manis, wanita itu lalu menunduk kecil dan pamit untuk pergi.
Setelah bibi pergi, Minhee menatap ke arah meja makan. Di sana, tidak sedikit makanan yang wanita itu siapkan untuknya. Membuatnya jadi menghela napas berat saat menyadari hal itu.
“Gue gak enak makannya.”
“Lo tega?”
Minhee jadi tersentak kecil saat pertanyaan itu sampai ke telinganya. Oh iya, ia lupa jika ada Yunseong yang bersamanya saat ini.
“Gimana, kak?”
“Lo tega? Bibi udah cape-cape masak terus lo gak makan masakan dia. Terus itu makanan kalo gak dimakan mau diapain? Dibuang?”
“Ya gak juga.”
“Makanya makan. Lagian lo aneh-aneh aja. Lo tuh majikan di sini, semua di sini punya lo tapi...”
“Udah gue bilang kalo bukan punya gue.”
“Tapi selama ini lo yang di sini, Hee. Bisa dibilang ini punya lo juga.”
“Gak, bukan punya gue.”
“Kalo gitu anggap aja punya lo.”
“Mau gue tolak, kak. Tapi, malam ini gak dulu, deh. Kasihan itu masakannya.”
“Seterusnya juga gak ada yang masalahin itu kali.”
Jawaban Yunseong membuat Minhee berdehem saja. Hingga beberapa detik kemudian, si manis Kang itu menoleh dan menatapnya dengan tatapan heran.
“Lo kok di sini, kak?”
“Lo gak mau gue ke sini?”
“Ya, bukan gitu, kak. Maksudnya, kok lo tiba-tiba udah ada di sini. Gak ngasih kabar juga.”
“Yang penting gue datang, kan?” Menjawab acuh, Yunseong lalu meraih tangan si manis dan menariknya ke arah meja makan. “Lagian, gue udah bilang sama lo tadi pagi kalo gue gak mau ditinggal. Jadi, jangan nanya kalo tiba-tiba gue udah di sini aja.”
Thank you...
KAMU SEDANG MEMBACA
Boys be Ambitious || HwangMini
FanfictionAwalnya, hidup keduanya terlampau biasa saja, terlalu datar dan hanya berjalan apa adanya. Tapi tidak lagi setelah mereka bertemu. Karena setelah hari itu, ada ambisi rahasia di diri masing-masing, membuat hidup yang awalnya biasa-biasa saja, menjad...