| Bagian 33 |

12.8K 892 16
                                    

Hari sudah berganti sore tetapi Ethan masih berkutat dengan berkas-berkas dan map. Ia menyelesaikan semua pekerjaan yang ada di kantor tanpa ada jeda untuk istirahat, sengaja Ethan selesaikan agar pikirannya teralihkan dari sosok Ava yang membuatnya kecewa. Paling tidak dengan menyibukkan diri Ethan tidak akan terlalu memikirkan ucapan Ava.

"Pak, ini sudah sore. Anda tidak mau istirahat untuk makan dulu?" tawar Tanisha--sekretaris Ethan.

Ethan menggeleng kecil. "Tidak," jawab Ethan menolak. Ia tetap berkutat dengan berkas-berkas, map dan laptopnya.

Tanisha menghembuskan nafas panjang. Dia lalu permisi untuk keluar, menyimpan laporan yang telah di selesaikan oleh Ethan.

Ethan menghela nafas kasar--menutup laptopnya dengan kencang. Menyibukkan diri tidak membuat Ethan fokus. Pikirannya berkecamuk dengan perasaan yang tidak menentu. Bangkit dari kursinya Ethan meraih kunci mobil yang tergeletak di meja. Dia akan pulang, memastikan keadaan di sana aman. Bagaimanapun di sana ada anak-anaknya, calon istrinya yang sedang hamil.

"Tanisha?!" Ethan menyerukan nama sekretarisnya. Melihat wanita itu dengan datar. "Saya akan pulang. Jika pekerjaan kau sudah selesai, kau silahkan pulang." kata Ethan.

Tanisha mengangguk. "Baik, pak. Kebetulan pekerjaan saya tinggal sedikit lagi." balas Tanisha tersenyum.

Ethan melirik Tanisha tajam. Melenggang pergi memasuki lift tanpa sepatah kata. Di dalam Ethan menyandarkan tubuhnya pada lift. Merogoh saku celana depannya ketika merasakan getaran pada ponselnya. Kening Ethan mengkerut saat melihat nomer telfon mansion--lalu mengangkatnya.

"Tuan ini saya Meena?" ucap Meena dari telfon.

"Ada apa Meena?" sahut Ethan bertanya, ia kebingungan karena tidak biasanya Meena menghubungi Ethan.

"Tuan, Nona Ava sedari pagi menolak untuk makan." adu Meena pada Ethan. Nada bicara wanita itu juga terdengar seperti orang yang sedang khawatir. "Vitamin dan obatnya pun tidak mau di minum. Saya sudah mencoba untuk memaksa Nona Ava."

"Taruh saja makanan dan obatnya di depan pintu kamar. Aku sedang di jalan menuju pulang. Biar nanti aku yang membujuk Ava." kata Ethan sambil berjalan keluar dari lift, begitu denting lift terdengar. Ia mematikan telfonnya--memasukan ponselnya kedalam saku celana. Lantas bergegas pulang. Dia memasuki mobilnya yang sudah terparkir di lobby--kemudian melajukannya dengan cepat.

Ethan sangat mengenal Ava, baik dan buruknya wanita itu. Bahkan ketika Ava sedang sedih, kesal dan marah saja Ethan tahu bagaimana sikap Ava. Wanitanya itu akan diam dan menghindari makanan saat sedang bersedih, saat marah Ava akan memilih untuk memasukan banyak makanan kedalam tubuhnya, dan ketika kesal maka wanita itu akan uring-uringan. Tersenyum--Ethan mengingat dengan baik bagaimana Ava ketika sedang marah padanya.

Sesampainya di rumah Ethan langsung turun dari mobil, memberikan kunci mobilnya pada seseorang yang di tugaskan untuk mengurus semua mobil yang di miliki oleh Ethan. Setelahnya Ethan melangkah masuk--membuka jasnya dan memberikannya pada Meena yang datang menyambut.

"Saya sudah menaruh makanannya di depan kamar, Tuan. Beserta obat dan vitamin." Meena berucap pada Ethan.

Ethan mengangguk kecil. "Terima kasih, Meena..." Ethan menghentikan langkahnya, tubuh Ethan memutar melihat pada Meena di belakangnya. "Anak-anak di mana?" sambung Ethan bertanya.

"Anak-anak sedang di ruang bermain." jawab Meena. "Kalau begitu saya permisi dulu, saya akan menemani anak-anak lagi." tambahnya sambil meninggalkan Ethan.

Ethan mengadahkan kepalanya--menatap lantai atas. Menghembuskan nafas kasar--Ethan kembali menggerakkan kakinya melangkah, menaiki tangga menuju kamarnya di atas bersamaan dengan sosok Ava yang keluar dari kamar, wanita itu terlihat membawa sebuah koper.

Destiny (Tersedia E-book)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang