| Bagian 13 |

25.5K 1.7K 42
                                    

"Maxi, kau mau pesan apa?" Angel bertanya sambil melihat-lihat menu makanan.

Tidak ada jawaban! Angel mendongak menatap Maxime—pria itu diam termenung. Ia menghembuskan nafas kasar lalu tersenyum lirih. Mencintai seorang pria sendirian memang menyakitkan. Bukan karena cinta yang Angel miliki tidak terbalaskan. Angel mendapatkan balasan dari cintanya. Namun, semua cinta yang Angel miliki seolah terenggut oleh kedatangan wanita itu. Maxime berubah padanya, menjaga jarak dan menghindari Angel tentunya.

Angel dan Maxime dijodohkan. Awalnya memang Maxime menolak. Tapi seiringnya waktu ia dan Maxime sama-sama saling mencoba untuk pendekatan. Mereka bersama cukup lama.

"Maxime?" Angel menyentuh punggung tangan Maxime.

Maxime melirik tangannya—menepis kasar tangan Angel. "Pilih saja sesukamu. Kenapa harus bertanya terus, hah?!" ucap Maxime berdesis.

"Kau memikirkan 'nya?" sahut Angel—bertanya.

"Aku lapar!" Maxime berketus, mengambil alih buku menu dari depan Angel. Lalu mulai memilih-milih walau tidak ada satupun menu yang menggugah Maxime untuk dicoba.

Angel tersenyum pedih. "Untuk apa menghindar? Benar bukan? Kau sedang memikirkannya?!"

"Kau banyak bicara." Maxime menutup buku menu kasar. Tatapan matanya begitu menusuk Angel. "Bukan 'kah kau lapar? Maka makan saja."

Angel mengangguk paham. "Aku kembali ke hotel saja." Ia bangkit dari duduknya. "Maxi, aku memang lapar dan ingin makan bersamamu. Tapi sepertinya kau sedang memikirkan banyak hal, jadi kita makan dilain waktu saja." kata Angel hendak pergi. Namun, baru berbalik pergelangan tangan Angel sudah dicekal lebih dulu—ia memandang Maxime lekat.

"Duduk 'lah, maafkan aku." Maxime menatap Angel. "Ayo kita makan. Jangan pergi."

Angel mengangguk kemudian kembali duduk di kursinya. Dan mulai memesan makanan biarpun moodnya untuk makan sudah hilang. Namun, dengan baik Angel memasang wajah biasa saja. Meskipun hatinya tidak bisa biasa sebagaimana wajahnya menunjukkan.

Ia tersenyum kecil saat Maxime menatap kearahnya. "Mau coba punyaku?" tawar Angel pada Maxime.

"Tidak!" Maxime menggeleng.

"Heem!" Angel memanggut-manggutkan kepalanya. Lalu kembali melahap sushinya.

A Few Minutes Later!

Maxime memandang Angel dengan tatapan sulit. Mereka sudah selesai makan—menaruh kunci dan ponsel diatas meja. "Kau duluan saja ke mobil. Aku harus ke toilet. Tolong, sekalian bawakan ponselku." ucap Maxime.

Angel mengangguk seraya meraih kunci dan ponsel Maxime lalu beranjak dari sana. Ia akan menunggu Maxime di mobil.

Dddrrtttt!

Angel tahu membuka ponsel seseorang tanpa izin memang tindakan kurang sopan. Namun, bunyi ponsel Maxime membuat Angel melakukan tindakan itu. Toh pemiliknya sudah menitipkan ponsel ini padanya.

Aku sudah sampai di tempat jalan-jalan dengan selamat. Jangan khawatir Maxi.’

Ia tersenyum sinis. Menghapus pesan yang dikirimkan oleh wanita itu. Jangan khawatir? Memangnya dia pikir siapa? Sampai Maxime harus mengkhawatirkan wanita itu?

"Maaf lama!" Tiba-tiba saja Maxime sudah membuka pintu mobil, dan duduk.

"Tidak apa," Angel memberikan ponsel dan kunci mobil pada Maxime.

Maxime menyalahkan mesin mobilnya—melaju pergi dari parkiran. Ia tidak apa yang terjadi pada dirinya saat ini--ingin mengakhiri hubungan dengan Angel. Cinta itu tidak pernah ada untuknya, Maxime hanya menyakiti Angel jika terus tetap mempertahankan.

Destiny (Tersedia E-book)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang