| Bagian 32 |

14.1K 811 22
                                    

Keesokan Harinya.

Ava melambaikan tangannya pada Zayn dan Claire. Keduanya berjalan menuju kelas masing-masing. Senyum Ava merekah melihat anak-anaknya yang semakin hari semakin tumbuh dengan baik dan pandai.

Ava terdiam memandang kearah ruang pengawas. Dulu disanalah tempat Ava, berkumpul dengan yang lain meski ia dan beberapa teman sesama pengawas tidak begitu dekat. Ia jadi merindukan posisinya ketika masih menjadi seorang pengawas disana. Kini Ava tidak bisa lagi karena Ethan sudah tidak mengizinkan Ava untuk bekerja. Apalagi saat ini Ava sedang hamil.

"Ternyata aku benar." jeda seseorang di belakang Ava. "Akhirnya aku bisa bertemu denganmu." tambahnya dengan helaan nafas lega.

Tubuh Ava berputar, menghadap belakang. Kedua matanya membesar saat melihat orang itu. "Maxi?" gumam Ava pelan.

Maxime menganggukkan kepalanya. Senyumnya merekah--kakinya bergerak menghampiri Ava. Menarik tubuh itu kedalam dekapannya. "Oh Tuhan." Maxime bergumam. Ia memejamkan matanya. "Aku sangat bahagia bisa melihatmu lagi."

"Maxi?" Ava melepaskan pelukan Maxime dengan sedikit mendorongnya. Menghadirkan keterkejutan pada diri Maxime. Pria itu memeluk Ava terlalu erat sampai-sampai Ava merasa kalau perutnya di tekan.

"Kenapa Ava?" Maxime bertanya lirih. Meski begitu ia tidak memperdulikannya. "Ava bagaimana kabarmu? Apa kau baik-baik saja?"

"Ya, aku baik-baik saja!" Ava tersenyum tipis. "Kau sendiri, bagaimana kabarmu?"

"Aku tidak begitu baik, Ava!" Maxime menundukkan kepalanya. Suaranya melirih.

"Ada apa, Maxi? Apa yang terjadi?" Ava menyentuh bahu Maxime. Wajahnya berubah khawatir. "Katakan padaku."

Maxime meraih tangan Ava dan menggenggamnya erat. Kepala Maxime mengadah--menatap manik Ava lekat. "Aku hancur sekali melihat konferensi pers yang di adakan oleh pria itu. Rasanya sakit sekali Ava." kata Maxime lirih. "Kau sudah jauh sekali denganku. Pria itu membuatmu jauh dariku. Bahkan aku sudah kehilangan kau Ava."

Ava membalas tatapan Maxime dengan sorot mata yang sulit di tebak. Ia menarik tangannya dari genggaman Maxime. "Pria itu?" ulang Ava pelan. "Maxi, dia mempunyai nama. Dan namanya adalah Ethan." tukas Ava tidak suka.

"Aku tidak perduli dengan namanya. Dia sudah merebutmu dariku. Kenapa Ava? Kenapa harus dia?" Maxime menggeram tertahan.

"Maxi sepertinya kau tidak memahami apa yang terjadi..." Ava menghembuskan nafas panjang. "Ethan tidak pernah merebut aku darimu. Lagipula, aku saat itu sedang tidak memiliki hubungan dengan siapapun. Kau dan aku hanya berteman saja tidak lebih." lanjut Ava melihat Maxime sendu. "Kenapa harus dia? Karena Ethan yang aku cintai, Maxi." sambung Ava dengan senyum tipis.

"Tapi dia sudah membuatmu pergi jauh Ava. Dia yang sudah membuat hatimu terluka." pekik Maxime kencang. Tangannya terkepal erat.

Ava memanggut-manggut. "Ya itu memang benar. Ethan yang sudah membuatku pergi jauh. Ethan juga yang sudah memberikan luka di hatiku. Tapi Maxi, itu tidak ada apa-apanya. Cintaku lebih besar sehingga bisa mengalahkan lukaku." kata Ava tercekat. "Kepergianku selama ini tidak membuat cinta itu hilang. Yang ada cinta itu semakin besar dan menambah kuat." sambung Ava dengan mata yang berkaca-kaca.

"Jadi kau akan tetap menikah dengannya?" Maxime bertanya, rahangnya mengeras kuat.

"Ya, kami akan tetap menikah." Ava tersenyum kecil. Ia meraih tangan Maxime dan menggenggamnya. "Aku mohon Maxi. Kau tahu kita sudah berteman lama sekali, aku tidak ingin kehilangan teman seperti dirimu. Tapi aku mohon lupakan perasaanmu untukku. Perlahan saja Maxi, kau akan bisa."

Destiny (Tersedia E-book)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang