| Bagian 12 |

24.6K 1.6K 33
                                    

Pagi ini Ethan bisa melihat betapa antusiasnya Zayn saat memeriksa lagi barang-barangnya yang akan di bawa jalan-jalan. Bahkan ia bisa menghitung sudah berapa kali Zayn memeriksa lagi dan lagi. Padahal bibi Meena sudah menyiapkan segalanya tanpa ada satupun yang tertinggal.

Ethan terkekeh pelan. "Zayn sudah semua. Bibi Meena pasti sudah menyelesaikan semuanya." kata Ethan terkekeh.

"Sebentar, dad!" Zayn melihat isi tasnya. "Perfect! It's finished and ready to go."

Ethan tersenyum. "Ayo sarapan dulu, Zayn."

"Di mobil saja Dad, takut telat nanti." Zayn memakai tasnya. Ia duduk di bagian anak tangga terakhir sambil memakai sepatunya.

"Tidak akan Zayn!" Ethan mendengus pelan. "Ayo sarapan dulu,"

Zayn cemberut—bangkit dari duduknya menghampiri Ethan. Ia mengambil roti isi dan melahapnya sekaligus, membuat kedua pipinya mengembung.

"Zayn pelan-pelan," Ethan hampir saja terbahak melihat bagaimana penuhnya mulut Zayn yang diisi oleh roti isi.

Zayn menyengir--menyantap pelan-pelan roti dimulut hingga habis tidak tersisa. Rasa antusias benar-benar membuat Zayn tidak bernafsu sarapan pagi ini.

Selesai sarapan lengan Ethan langsung ditarik ke pintu utama. Ia sendiri sampai dibuat pusing oleh Zayn yang terlihat lebih tidak sabaran. Namun, karena tidak ingin Zayn bersedih jadi mau tidak mau Ethan hanya mengikuti bagaimana keinginan Zayn saja.

"Dad ayo cepat. Bawa mobilnya yang kebut biar cepat sampai." Zayn bahkan lebih bawel pagi ini. Bukan, bukan Ethan tidak senang. Hanya saja alasan jalan-jalan saja sepertinya tidak akan mungkin? Ia sendiri suka mengajak Zayn jalan pergi. Tapi ini? Zayn tidak pernah bersemangat seperti sekarang.

Ethan tersenyum—tangannya terulur hendak mengacak rambut Zayn. Tapi lebih dulu di halangi oleh Zayn.

"No, Dad! Don't ruin my hair." protes Zayn tidak suka jika rambutnya yang sudah rapi dirusak.

"Okay, i'm sorry!" Ethan berucap pasrah.

Zayn mengangguk kecil. Dia melihat keluar jendela mobil, sesekali melirik pada Ethan yang fokus menyetir.

"Ada apa, Zayn?" tanya Ethan menoleh pada Zayn. Lalu kembali fokus kedepan lagi.

"Tidak, tidak apa-apa." Zayn menyengir lebar.

"Kenapa hem? Daddy lihat Zayn sangat bersemangat, What happened?"

Zayn menggeleng. Namun, senyum malu-malunya bisa Ethan lihat dengan sangat jelas. Walau terlihat melalui ekor matanya.

Sesampainya di taman kanak-kanak. Ethan memarkirkan mobil—melepas seatbelt begitupun dengan Zayn. Anak laki-laki itu bahkan sudah turun dari mobil lebih dulu--meninggalkan Ethan.

"Aunty Ava?" Zayn berteriak kencang. Ia berlari mendekati Zayn.

Mendengar teriakan Zayn, Ethan langsung menoleh. Matanya melihat kearah wanita itu—berdecak pelan Ethan membuka pintu mobil kasar. Kenapa pria itu selalu ada? Sial! gerutu Ethan dalam hati. Tidak langsung menyusul, Ethan mendatangi guru Zayn untuk menandatangani surat persetujuan yang kemarin Ethan sobek.

"Oh? Hai, Za--?" sapa Ava tersenyum pada Zayn, Ava hampir saja terhuyung saat tubuh kecil Zayn menubruk kakinya.

Zayn tersenyum dikaki Ava. Sedangkan matanya menajam ketika melihat tangan Claire dan Ava saling menggenggam. Giginya bergemeletuk—kesal Zayn menarik tangan Ava hingga genggaman keduanya terlepas.

"Zayn ada apa?" Ava bertanya, tubuhnya berlutut seraya memegang bahu Zayn.

Zayn menggeleng—sudut bibirnya tertarik membentuk senyum. "Aunty, Thank you for making Daddy allow i'm to come along." kata Zayn.

Destiny (Tersedia E-book)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang