| Bagian 23 |

18.9K 1.1K 19
                                    

Keesokan Harinya.

Ava baru selesai mengantar Claire dan Zayn ke kelas masing-masing. Dia hari ini ada janji dengan Maxime karena kemarin batal untuk bertemu. Di hari ini juga Ava mengambil libur untuk pertama kalinya.

Ava memandang mobil Maxime yang terparkir. Menarik nafas seraya melangkahkan kakinya mendekati mobil pria itu—ia masuk kedalam, kepalanya menoleh pada Maxime.

"Maaf kemarin batal." kata Ava tersenyum kikuk pada Maxime.

"Tidak apa-apa!" balas Maxime sambil melakukan mobilnya. "Aku tahu kau pasti belum sarapankan? Bagaimana kalau kita cari sarapan dulu?"

"Tidak, aku sudah sarapan di rumah menemani anak-anak." Ava menolak, dia tidak berbohong—di rumah memang Ava sudah sarapan. "Kalau kau mau sarapan tidak masalah."

"Baiklah!" Maxime tersenyum---melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Sesekali matanya melirik kearah Ava yang melihat keluar jendela. Rasanya senang sekali bisa berada dekat dengan Ava lagi.

"Bagaimana kabar Angel?" Ava bertanya pada Maxime.

"Tidak tahu. Kabarnya bukan urusanku lagi." jawab Maxime ketus---ketara sekali kalau Maxime tidak suka pembahasan mengenai Angel.

Ava menoleh, memandang Maxime. "Maxime--"

"Tolong jangan membicarakannya, Va! Aku minta bertemu denganmu karena aku merindukanmu." Maxime menyela cepat.

"Maxi--"

"Kau menjauhiku hanya karena kau sudah kembali padanya?" Lagi, Maxime menyela. Suaranya terdengar datar. "Apakah aku hanya pelampiasmu ketika di London?"

Ava menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kenapa kau berpikir begitu?" tanya Ava dengan mata yang memicing.

"Apa aku salah?" Bukannya menjawab, Maxime justru berbalik tanya. "Kau melupakan aku setelah kau bersama pria itu."

"Maxi.." ucapan Ava tertahan, tenggorokannya tercekat. Dia sangat terluka mendengar ucapan Maxime. Tidak sekalipun Ava melupakan Maxime—kebaikan pria itu yang selalu menemani Ava dimanapun. Memang mereka sudah jarang bertemu. Tetapi bukan berarti Ava melupakan keberadaan Maxime di hidupnya.

Maxime menepikan mobilnya di pinggir jalan—menghembuskan napas kasar dengan kepala yang bersandar pada kursi pengemudi. "Kenapa kau memilih untuk bersamanya?" tanya Maxime tanpa melihat pada Ava.

"Kau bilang ada yang ingin di bicarakan? Katakan saja sekarang." alih Ava tanpa perduli akan pertanyaan Maxime.

"Itu yang ingin aku bicarakan!" kata Maxime, menoleh kearah Ava. "Kenapa kau memilih bersamanya? Bukankah dia sudah menyakitimu? Kenapa tidak aku saja yang kau pilih, aku jauh lebih mencintaimu di banding dia."

"Maxi aku tidak ingin membahas soal ini. Aku mau menemuimu hanya karena kau ingin berbicara sesuatu."

"Kau tahu Ava? Ini menyakitiku!" Maxime berkata lirih.

"Maafkan aku Maxi. Aku tidak bermaksud untuk menyakitimu. Tapi, sedari awal kita bertemu sampai pada akhirnya berteman, aku tidak memiliki perasaan apapun padamu..." Jeda Ava serak—tidak tahu kenapa rasanya ia ingin sekali menangis. Inilah yang Ava takutkan dari pertemanan seorang wanita dan pria. Ia takut akan menimbulkan perasaan---dan sekarang itu terjadi pada Maxime. Dia tahu bagaimana sakitnya mencintai tanpa di cintai kembali. "Maafkan aku jika apa yang terjadi saat ini menyakiti dirimu." lanjut Ava dengan air mata yang mulai menetes.

"Apa kau tidak bisa mencintaiku? Meskipun hanya sedikit?"

Ava menunduk—kepalanya menggeleng. "Maxi maafkan aku. Tapi aku tidak bisa untuk mencintaimu. Perasaan tidak bisa di paksa, Maxi."

Destiny (Tersedia E-book)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang