| Bagian 19 |

23.1K 1.4K 40
                                    

Hari sudah malam akan tetapi ia masih berada di luar membawa mobil tidak mempunyai tujuan. Maxime menekan pedal gasnya hingga mobil melaju begitu kencang. Amarah sedang menguasai dirinya. Rasa tidak terima melihat bagaimana Ava dan pria itu datang bersama—belum lagi pelukan yang disematkan pria itu menambah rasa ketidak terimaan dalam diri Maxime. Ia tidak terima sungguh. Bagaimana 'pun selama ini ia 'lah yang menemani Ava menyembuhkan lukanya.

Hampir enam tahun lebih Maxime yang selalu berada disisi wanita itu, menemaninya kemanapun Ava pergi. Bahkan Maxime juga yang menemani Ava dikala wanita itu membutuhkan seorang teman. Dan sekarang? Hanya dengan waktu sebentar pria itu justru mendapatkan hati Ava kembali setelah melukainya. Adilkah untuk Maxime? Tentu saja tidak. Itu tidak adil.

Maxime merasa sangat di khianati. Belum lagi wajah-wajah licik di wajah pria itu sangat ketara ketika berbicara dengan Maxime tadi. Senyumnya seolah menunjukkan siapa pemenangnya. Namun, Maxime tidak akan tinggal diam. Ia akan merebut apa yang pernah ada untuknya.

Omong-omong Maxime jadi berpikir. Dari mana pria itu tahu soal perasaan Ava? Mungkinkah Ava yang berbicara jujur atau.. Tapi apakah mungkin? Ia harus bertanya pada wanita itu untuk memastikannya. Jika memang benar, maka Maxime akan membuat perhitungan. Pasalnya, pria itu tidak akan mendekati Ava jika tidak ada yang memberitahu bagaimana perasaan Ava untuk Ethan.

Maxime langsung melajukan mobilnya cepat. Dia harus datang ke hotel untuk menemui Angel. Ya, harus!

Tidak butuh waktu lama akhirnya Maxime tiba di hotel. Dia memarkirkan mobilnya dan bergegas pergi ke kamar wanita itu—ia sudah memegang kartu kamar Angel.

Sesampainya di lantai 10 Maxime langsung mempercepat langkahnya. Menempelkan kartu yang ada di tangannya ke pintu kamar. Suara kunci terbuka terdengar—dengan tidak sabaran Maxime masuk kedalam—sosok Angel berdiri menatap pada Maxime kebingungan.

"Maxi? Ada ap--"

"Apa yang kau lakukan?!" Maxime menyela cepat. Ia mencengkram lengan Angel.

Angel memicingkan matanya—alis Angel saling menaut keheranan. "Apa yang aku lakukan?" Bingung Angel menatap Maxime. "Maksudmu apa Maxi? Aku tidak mengerti sama sekali. Kau datang seperti sedang memergoki kekasihmu seli.."

"Omong kosong!" Maxime menghempaskan lengan Angel kasar. Dia membelakangi wanita itu. "Kau menemui Ava bukan? Kau mengatakan soal kita padanya?"

Angel menghela nafas kasar. Ia memutar tubuhnya berjalan ke ranjang—kemudian duduk disana. "Aku memang menemui dia. Dan.., ya memang benar aku mengatakan soal kita padanya. Kenapa memangnya?"

"Mengapa kau memberitahu soal kita padanya? Apa tujuanmu?" Maxime berbalik—membentak Angel dengan nada yang begitu kencang.

"Kenapa kau baru membahasnya hari ini? Perlu kau tahu aku sudah memberitahu wanita itu sejak lama." Angel memicingkan matanya.

"Aku diam karena aku berpikir kalau semua tidak akan seperti ini." Lagi, Maxime membentak Angel. "Kenapa kau melakukan ini, hah?"

"Karena kau milikku, Maxi!" Angel tidak tinggal diam. Dia membalas berteriak. "Aku hanya memberitahu dia kalau kau sudah memiliki aku begitupun sebaliknya."

"Milikmu?" Maxime tertawa terbahak. "Sejak kapan aku menjadi milikmu, hah? Kau sudah tidak waras!"

Angel mulai terisak—hatinya sakit sekali. Pria itu dulu pernah memuja-muja Angel, mengatakan kata sayang walau memang tidak pernah sekalipun mengucap cinta. "Kau melukaiku." lirih Angel terisak.

"Jika aku hanya bisa melukaimu. Kau bisa pergi dariku, Angel." tukas Maxime datar.

Kini giliran Angel yang tertawa, wajahnya sangat menunjukkan raut kecewa. "Apa kau sangat mencintainya sampai-sampai kau selalu ingin aku pergi dari dirimu? Selama ini aku yang bersamamu. Aku yang menunggu cintamu, Maxi..." Angel menjeda—mengusap wajahnya yang basah. "Kenapa kau terus mengejar wanita yang jelas-jelas tidak mencintaimu? Kenapa, heem?" sambungnya.

Destiny (Tersedia E-book)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang