Bagian 14

306 41 8
                                    

Apa yang menakutkan dari sebuah perpisahan? Yaitu ketika pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal.
Jika aku mampu mengetahui kapan sisa usia manusia berakhir, mungkin bisa saja aku akan menghadiahkan satu hari terbaik dalam hidupnya yang akan selalu dia kenang sampai kapanpun.

Jika saja aku mampu mengetahui kapan ajal akan menjemput seseorang, niscaya aku tidak akan pernah berbicara tentang keburukannya.

Allah, ya Allah.. Innalilahi wa innailaihi roji'un. Sesungguhnya setiap manusia yang berjiwa akan kembali kepada-Mu.

Rasanya, baru kemarin aku mendengar tawa Syifa. Hari ini, aku harus kehilangannya.
Rasanya, baru kemarin dia mengatakan ingin bersama dengan ibunya, ingin pergi ke rumah masa depan (kuburan). Hari ini, 9 Juni 2020. Dia benar-benar pergi untuk menemui ibunya yang sudah sangat lama dia rindukan.

Kecelakaan itu, tak mampu membuatnya bertahan. Allah, ya Allah.. Lututku lemas seketika.

"Ya Allah mba, baru kemarin dia bilang pengen ketemu sama Ibunya.." kataku lirih kepada Mba Elok.

"Iya, Dur. Ke Elok juga. Do'ain. Do'ain dia. Husnul khatimah. Dia meninggal dalam keadaan hafal Al-Qur'an"

Hatiku perih. Jika saja aku tau, aku akan selalu berada di dekatnya. Mendengarkan semua keluh kesahnya terhadap kerinduannya terhadap ibunya. Andai saja, andai aku mampu menjadi teman terbaiknya. Begitu menyakitkan kehilangan seseorang yang belum sempat aku bahagiakan.

Aku masih bisa mengingat segalanya dengan jelas. Suaranya, tawanya, dan juga tingkahnya yang selalu membuat anak kamar tertawa.

"Mbak Duroh, isun nitip duit"

Itu yang sering dia katakan. Dia suka sekali menabung. Aku tidak untuk apa. Dia suka membaca, dan dia punya lumayan banyak buku.

Aku masih tidak menyangka, bahwa dia benar-benar akan pergi dalam waktu secepat ini.

"Besok dimakamkan, kita kesana yah, Dur" kata Mba Elok. Aku mengangguk pelan.

Aku merasa bersalah, Syifa anak yang baik. Dia tidak mengenal laki-laki manapun. Kontaknya saja, tidak ada laki-laki. Dia juga tidak pernah menceritakan menyukai seseorang atau tidak.
Aku merasa selama ini belum jadi teman yang baik untuknya. Apa dia senang memiliki teman sepertiku? Apa dia benar-benar bahagia bisa berteman denganku dan anak kamar lainnya?

Maafkan, aku, ya Syifa. Bila dalam kata dan perbuatan ada yang menyakitimu. Aku melepasmu dengan ikhlas, ini adalah jalan terbaik untukmu dari Allah.

Dia satu-satunya orang yang berani mengkritik tulisanku. Dengan bahasa yang pelan dan mampu aku pahami.

Sore ini, hujan turun dengan derasnya. Baru kemarin aku dan dia tertawa bersama, kali ini dia kembali dalam pangkuan-Nya.

Semua pertemuan mungkin memang benar akan berakhir. Segalanya, memang benar akan menjumpai perpisahan. Entah dengan cara kembali pada-Nya, atau dengan menjauhi kita.

Tidak ada yang abadi, tidak ada yang selamanya, mungkin memang benar hanya do'a yang akan kekal. Sejauh apapun do'a itu pergi, sejatinya do'a akan tetap kembali.

"Dur-dur, nggak boleh nangis gini. Nanti Syifa keganggu. Do'ain" saran Mba Elok.

Aku tidak hanya menangisi kepergian Syifa, namun diriku sendiri. Aku sedih karena tidak bisa memaknai pesantrenku selama ini. Dan aku tidak mampu mengerti bahwa kita memang akan mati pada akhirnya. Kenapa? Kenapa aku masih selalu saja bersikap buruk. Kenapa aku tetap saja tidak mampu menjadi seorang penghafal Al-Qur'an.

Ya Allah, tempatkan lah Syifa ditempat terbaik disisi-Mu. Sesungguhnya dia orang yang baik. Pertemukan lah kami kembali, dalam golongan orang-orang yang menghafalkan kalam-Mu.

Ketika Santri Jatuh Cinta II (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang