Takdir dan harapan itu beriringan. Sejauh mana aku mengharap, sejauh mana aku menaruh harap akan berdampak kepada keadaan saat menerima takdir. Ini kali pertamanya dalam hidup aku mau belajar. Dari aku yang tidak mengenal apa-apa, menjadi sedikit lebih tahu tentang apa yang seharusnya aku lakukan.
Aku mungkin adalah satu dari sekian juta perempuan yang masih tertatih dalam melangkah. Tapi, aku meyakini bahwa tidak semua manusia bisa memikirkan untuk belajar menelaah kehidupan.
Guruku bilang, ngaji itu bukan soal menghafal, menulis, mengingat dan datang ke suatu majlis. Tapi, ngaji itu sesuatu yang luas untuk sekedar dilihat sekilas. Banyak orang datang ke majlis atau bahkan pesantren tapi beberapa kadang tidak bisa memaknai pengalamannya sendiri. Itulah kenapa, Guruku selalu mengingatkan bahwa untuk tidak menyepelekan sesuatu yang kecil sekalipun. Karena menghafal adalah soal mengkaji ayat itu sendiri untuk direalisasikan dalam kehidupan.
Yang aku pelajari bahwa ngaji bukan juga sesuatu yang nyata bentuknya tapi tentang yang tidak nyata seperti sebuah perasaan.Rasa senang, bahagia, sedih, kecewa, terharu atau bahkan jantung yang berdetak kencang karena jatuh cinta kepada sesuatu yang sedang dijalani. Itulah ngaji sesungguhnya, mengkaji berbagai perasaan dalam diri serta lingkungan.
Kang 'Aisyah selalu memberi nasihat bahwa sebagai manusia kita harus punya prasangka baik kepada manusia bahkan Allah sekalipun. Karena memang hidup adalah permainan prasangka dari setiap isi kepala manusia.
Segala sesuatu yang menimpa diri kita sendiri mungkin akibat perbuatan kecil kita kepada seseorang, atau sesuatu atau bahkan makhluk hidup sekitar seperti hewan dan tumbuhan. Pernahkah oranglain berpikir sepertiku? Aku penasaran bagaimana pandangan oranglain terhadap sesuatu disekitarnya. Apakah mereka pernah berpikir bahwa sesuatu terjadi akibat ulahnya sendiri. Atau apakah oranglain pernah memikirkan mungkin niat dalam hatinya yang salah. Sebelum menyalahkan oranglain, sebaiknya memang harus berkaca kepada diri sendiri.
Ah, aku sangat menyukai pesantren ini. Dari sinilah hatiku mulai terbuka untuk banyak hal. Kehidupan yang aku pikir sebuah ketidakadilan nyatanya hanya aku yang berpikir seperti itu. Allah memberiku hidup seperti ini karena Dia tau bahwa aku mampu melewatinya. Lalu, kenapa aku tidak mempercayai diriku sendiri?
"Menurut Mba Duroh, kenapa seseorang itu berubah?" tanya Naura yang matanya masih tetap menatap langit sore.
"Berubah? Kayaknya enggak"
"Nggak berubah?" Dia menoleh, menatapku. Aku mengangguk.
"Dia nggak berubah, cuman dia baru nunjukin sikap lainnya yang belum kamu tau" kataku.
"Jadi, nggak ada orang di dunia ini yang berubah?"
"Ya, ada. Tapi perubahan itu sendiri nggak besar. Aku rasa, manusia itu hanya mengikuti alur dari lingkungannya. Semacam adaptasi baru. Ya, kayak anak kecil yang belajar gitu"
"Ohh.. jadi manusia pasti berubah ya?"
"Pikirannya yang mulai merambah ke banyak hal, jadi prioritasnya berubah, kebutuhan, keinginan juga. Jadi ya mungkin itu yang menyebabkan seseorang keliatan berubah"
"Hmmm" gumam Naura.
"Jangankan manusia, liat" aku menunjuk matahari yang mulai mendekati rel kereta.
"Bentar lagi langitnya oranye semua tuh""Jadi, nggak ada yang nggak berubah ya"
"Yaa, semuanya nggak bisa sama. Sedikit pasti berubah. Langit aja tiap hari bisa mendung bisa panas. Apalagi manusia yang jelas-jelas punya akal pikiran?"
"Iya juga yah"
"Lagipula, kita nggak bisa mencegah seseorang buat nggak berubah. Yang bisa kita lakukan cuman menerima perubahannya"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Santri Jatuh Cinta II (End)
Teen FictionSQUEL KEDUA!! Kalian bisa baca squel pertama biar nggak pusing memahami alur dan tokohnya yah, judulnya sama "Ketika Santri Jatuh Cinta" 🌼🌼🌼 Masih tentang santri, masih tentang banyak masalah yang dialami santri, masih tentang Durotuss Tsaminah y...