Bagian 4

792 61 15
                                    

Aku bersandar di batang pohon randu, mendekap erat tafsirku. Beberapa hari ini aku tidak dapat jadwal semaan karena mereka taunya aku masih sakit, ya biar saja. Aku juga ingin menyendiri dan menenangkan pikiran lebih dulu.

Keningku masih diperban, sebenarnya sobek tapi aku menolak untuk dibawa ke Puskesmas atau Rumah Sakit. Aku punya propolis yang ampuh untuk menutup luka dalam waktu cepat. Kepalaku jadi sering sakit, tapi ya sudahlah hidup bukan untuk dikeluhkan.

Aku tidak tau bagaimana bisa Mba Alfiya membenciku sampai berani mencelakaiku. Bukankah hidupnya sudah sangat sempurna? Dia juga sudah memiliki Hamid, lalu kenapa harus terus menyerangku yang tidak tau apa-apa. Hfff, aku selalu nggak habis pikir dengan jalan pikiran manusia. Mengapa kadang seseorang berubah menjadi jahat dan egois, aku nggak tau lagi harus kaya gimana ngadepin Mba Alfiya.

Yaaa suasana karang terasa sunyi. Tidak ada yang nderes disini, suara semaan juga terdengar seperti dengungan lebah tapi lebih menyejukkan. Aku senang berada disini, sangat senang tapi kadang aku merasa bahwa aku belum pantas untuk menjadi seorang penghafal. Selalu saja banyak pertanyaan menggantung, tanpa jawaban apapun.

Hffffff, aku harus bagaimana yah?

"Kebiasaan banget mojok disini deh" aku menoleh.
"Apasih Ra"
"Nggak takut Mba disini sendirian, inikan terlalu pojok dari wilayah karang"
"Takut apasih, palingan kucing lewat" kataku sambil menggelar lebih lebar kardus yang sedang aku duduki.
"Sini duduk"
"Lagi mikirin apa sih Mba?"
"Nggak, lagi pengen disini aja biar tenang"
"Mba Duroh jujur deh sama Naura. Waktu jatuh di jeding, beneran jatuh? Kalau kepleset tuh paling ke tengah bukan ke pinggir sampe kejedug berdarah gitu"
"Ya nggak tau Ra. Kehendak Allah mau jatuh kaya gimana juga" Naura terdengar mendengus kesal.
"Tapi kan.."
"Udah Raa, lagi nggak mau bahas"
"Ya yaudah deh maap"
"Iya"
"Mba Duroh, masih mau puasa disini sampe lebaran?" Nggak tau, aku juga ragu. Pengen tapi rasanya aku bakalan menjalani hari yang panjang dan melelahkan disini.
"Kalau nggak kuat, pulang aja Mba nanti pertengahan puasa"
"Liat nanti aja deh, toh masih nanti"
"Mba Duroh udah mendingan tah badannya, udah ke karang aja. Jangan maksain Mba"
"Aku nggak maksain, tapi dikamar aja bete. Kan sepi sih"
"Iya juga sih, eh Mba Duroh nggak marah kan sama Aqila soal roti?" Keningku berkerut menatap Naura.
"Marah buat apa?"
"Yakan, Mba Duroh paling nggak mau urusan sama Gus Faqih tapi kayaknya beliau itu beneran suka deh sama Mba"
"Aku nggak mikirin dia suka apa nggak sama aku, yang aku pikirin dia itu Gus aku. Nggak panteslah aku sama dia"
"Dihhhh jangan begitu Mba Duroh. Siapa kita sih berhak menilai pantes apa enggaknya. Toh Gus Faqih aja suka"

Hmmm, sepertinya dia hanya ingin berteman bukan menaruh rasa yang lebih dari itu. Aku tidak mau menganggap bahwa ini adalah perlakuan spesial, karena tidak mau merusak banyak suasana serta perasaan. Intinya, aku nggak mau berharap nanti patah lagi kaya yang lalu.

"Besok aku nggak ikut semaan yah?" Naura menatapku.
"Besok udah masuk juz 21 kan?" dia mengangguk.
"Berarti besoknya lagi khataman pertama dong?" dia mengangguk lagi.
"Yupp! Udah mau seminggu aja yah Mba" iya, karena kecelakaan tidak terduga ini jadi aku juga belum bisa ngaji sampe sekarang.

"Mba Duroh hari ini puasa yah?" tanyanya dengan ikut bersandar di batang pohon.
"Soalnya sarapan yang Naura siapin masih utuh dikamar" aku menghela napas.
"Udah sehat kok, lagian sayang kalau nggak puasa"
"Tapi enggak sahur loh?"
"Aku minum susu pas mepet imsak" kataku sembari nyengir.
"Lhaa Mba Duroh bangun pas kita udah pada turun? Tau gitu sahurnya kita bangunin aja"
"Udah gapapa"

Aku menaruh tafsir di jendela kamar. Suara semaan sudah berhenti dari setengah jam yang lalu, dan Naura masih memilih tinggal di karang karena harus bikin setoran. Aku mau istirahat dulu, nanti bangun kalau udah dhuhur.

"Mba" aku yang sedang memegang bantal menoleh ke sumber suara. Seseorang berdiri di ambang pintu. Kamarku sedang kosong karena Aqila dan 'Isma pasti tidur di Mushola.
"Kenapa Mba? Nyari siapa?"
"Nggak. Aku cuman mau nanya, bisa jauhin Gus Faqih nggak?" aku memiringkan kepalaku, menatap Mba Gita dengan heran.
"Maksudnya?"
"Jangan deketin dia. Jauhin dia" aku kan emang enggak deket?
"Sekali ini aja, jangan bikin masalah bisa kan?" dia menatapku dengan tatapan lelah. Aku nggak ngerti lagi deh siapa yang tertindas sebenarnya.
"Aku nggak deket sama Gus Faqih" kataku.
"Kalau gitu bilang sama Gus Faqih buat berhenti deketin kamu!" Nada bicaranya berubah, aku memeluk erat bantalku.
"Bilang sama Gus Faqih kalau kamu udah punya yang lain biar dia berhenti!" Aku menghela napas, terserahlah.
"Mau Mba Gita apasih sebenarnya? Salah aku tuh dimana? Kenapa Mba Gita selalu nyerang aku?" dia membuang muka.
"Kamu jauhin Gus Faqih biar aku berhenti gangguin kamu" aku memejamkan mata sebentar, menahan diri untuk tidak ikut terbawa emosi.
"Oke kalau itu yang Mba Gita mau"
"Bagus!" katanya. Dia berbalik tapi kembali lagi dengan masuk ke kamar dan mendekat ke arahku.
"Apa lagi Mba?" tanyaku dengan nada lelah.
"Dua buku yang Gus Faqih kasih, siniin" aku tersentak. Bagaimana dia bisa tau bahwa aku punya dua buku? Astaghfirullah, apa hak dia sampai berbuat sejauh ini?
"Buku itu ada manfaatnya Mba buat aku baca. Kenapa harus diminta sama Mba Gita?"
"Kalau kamu beneran nggak suka sama Gus Faqih, kamu nggak bakalan keberatan aku mintain bukunya" Astaghfirullah bukan begitu maksudnya, tapi buku itu motivasi buat aku baca. Lagian aku belum selesai baca Rumah Rindu.
"Mana sini?"
"Mba Gita minta aku buat jauhin Gus Faqih kan? Kenapa harus buku yang dia kasih juga Mba ambil?"
"Kalau kamu nggak suka sama dia, kenapa kamu harus berat hati buat ngasihin bukunya?!" Astaghfirullah!
"Kamu yang ambil atau aku bakalan obrak-abrik lemari kamu?!" Ancamnya. Aku menurut dan berjalan ke arah lemari. Bulan ramadhan ini bikin aku hampir nyerah sama keadaan.

"Nih Mba" dia menerimanya dengan kasar.
"Jangan pernah ngaduin hal ini ke siapapun apalagi Gus Faqih!"
"Iya"
"Kamu masih pegang hp kan?" Aku mengangguk.
"Hubungi Gus Faqih. Bilang buat berhenti mendekat sama kamu, kasih alasan apapun yang logis biar dia bener-bener jauhin kamu!"
"Aku nggak punya nomernya" kataku.
"Mana hp kamu?" Aku balik lagi ke lemari, aku menyimpannya di atas tumpukan sarung.
"Nih" Mba Gita sibuk dengan hpku, dia hapal nomer Gus Faqih? Rajin banget ngapalin nomer orang, aku aja nomer sendiri nggak hapal.
"Abis ini kamu delete nomernya, dan kamu ganti nomer"
"Tapi Mba, ini nomer dari jaman sekolah. Kalau aku ganti nanti keluarga sama temen-temen sekolahku gimana?"
"Kamu mau dapet yang lebih dari ini, Dur?" dia menunjuk keningku. Aku menatapnya heran, kenapa dia ngomong kaya gitu? Berarti dia tau kalau ini bukan kecelakaan tapi kesengajaan?
"Kamu bakal tau akibatnya kalau aku masih denger soal Gus Faqih sama kamu" dia pergi keluar kamar, dengan membawa pergi juga kedua buku pemberian Gus Faqih.

Aku menggenggam erat hp, dan membanting begitu saja bantal yang sedari tadi aku pegang.

"ALLAH!!!"

Hpku bergetar, nomer yang baru saja Mba Gita simpan tertera di layar. Aku mengerjapkan mata berulang kali, meyakini diriku sendiri bahwa ini bukanlah mimpi.

Aku menggeser layar, dan menyentuh speaker.

"Hallo. Assalamualaykum, Mba Duroh?" suaranya memenuhi ruangan kamarku.
"Mba Duroh ini Gus Faqih mau ngomong!"
"Buruan Gus!"
"Kita bakalan pergi. Yokk pergi yokk semuanya!"
"Ngomong Gus nanti nyesel"
"Semangat Gus!"
"Dadahhhh!"

Tidak lama setelah suara ribut dari seberang sana, suasana menjadi sangat hening sekali.

"Ngg-- Mba Duroh?" aku menarik napas lebih dalam dan mengeluarkannya perlahan.
"Berhenti deketin saya, Gus!"
"Eh? Apa Mba?"
"Saya punya hati yang harus dijaga!"

Hening. Aku menahan diri, dadaku sudah bergemuruh sedari tadi. Kenapa rasanya aku tidak tega melakukan semua ini. Gus Faqih tidak tau apa-apa, dan juga aku tidak tau harus melakukan apa.

"Terimakasih atas jawabannya" mendengar dia berkata seperti ini malah membuatku semakin merasa bersalah.
"Maaf kalau selama ini saya mengganggu"
"Ngg--"

Ttutt!

Telepon mati, aku mencoba mengontrol diriku. Aku baru saja merasa kecewa dengan semua perkataanku pada Gus Faqih, bahkan aku tidak memberinya kesempatan untuk bicara lebih dulu. Arrgghh, Duroh!

Aku merebahkan diri mencoba menghapus setiap air mata yang tiba-tiba jatuh. Ini namanya puasa apaan coba kalau kaya gini jadinya.

Gus, maaf. Suatu saat nanti kamu pasti akan tau alasannya aku ngelakuin semua ini. Kamu harus tau, aku senang bisa menjadi orang yang menerima segala perhatianmu meski sebentar.





🍁Nana Raynaa


(Upss padahal #dirumahaja tapi nggak pernah update! Piyane, authornya lagi nonton banyak drama yang bisa menginspirasi. Soalnya dari kemaren nggak ada ide terus huhu. Makasih buat yang selalu sabar, kalian luar biasa kuatnya! Jangan lupa vote! Lvyu💕😂)

Ketika Santri Jatuh Cinta II (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang