Bagian 16

298 38 11
                                    

Embusan angin terasa lebih dekat dan dingin. Memelukku yang sendirian menikmati sepi. Andai mudah untuk mengatakan perasaanku, pasti sudah akan aku lakukan. Namun, bagiku mengungkapkan tidak hanya sekedar jujur. Lebih dari itu, lebih dalam lagi dari itu.

Aku tidak tau apa yang Gus Faqih pikirkan tentangku. Mengapa dia begitu gigih untuk terus mencoba mendekat kepadaku?

Dengar, ya, Gus. Jatuh cinta bagiku tidak semudah yang kamu kira. Tidak semudah tingkah laku yang selama ini kamu lakukan. Cobalah terka, bagaimana perasaanku menghadapi semua ini sendirian. Jika saja kamu mampu, aku yakin kamu akan perlahan menghentikan semua langkahmu ini.

Ah, aku jadi sok tau. Bagaimana kalau Gus Faqih justru lebih tau? Kenapa aku jadi kepedean begini. Mungkin saja dia hanya ingin berteman?

Aku jadi ingat, pertama kali berpapasan dengannya di Rumah Sakit saat di Bandung. Bagaimana bisa dia mengenali aku yang bahkan belum pernah dia temui sebelumnya. Oh, Gus Faqih! Kenapa kamu tega sekali membuatku banyak berpikir tentangmu. Menebak apa sebenarnya isi dari hatimu dan menerjemahkan segala sikap yang selama ini kamu lakukan!

Aku menatap layar handphone, tadi malam, dia mengirimiku sebuah puisi. Padahal chatnya sudah aku hapus, tapi kenapa dia chat lagi sih?!

Aku tidak tau dia beneran bisa menulis atau minta dituliskan temannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku tidak tau dia beneran bisa menulis atau minta dituliskan temannya. Yang jelas, aku semakin gusar gundah gulana. Mana di pondok sendirian, mau cerita ke siapa juga percuma!

"Andai mudah bagiku mengatakannya, Gus. Kalau aku juga menyukaimu.." bisikku pelan. Berharap bahwa angin akan menerbangkannya dan dapat membuatku lega.

Aku menatap balong yang sepi dari lantai atas di samping kamar. Apa hatimu sesunyi itu, hingga kamu terus berusaha mengejarku. Apa yang kamu harapkan dari seseorang seperti aku, yang amat sangat mampu menghancurkanmu dalam sekejap. Jika ini adalah sebuah perasaan, maka diamlah. Biarkan aku menerjemahnya satu persatu, agar aku mampu memahami apa maksud dari hatimu.

Ishhhh, jawaban apa yang tepat untuk memberinya balasan? Aku tidak mau meninggalkan jejak, di hati maupun ingatannya.

Gus, jika aku terus berlari seperti ini tanpa memberimu jawaban iya ataupun tidak. Apakah kamu akan tetap terus mempertahankan diri pada tempatmu? Ah, aku harap dia perlahan mundur.

"Ish, apaan sih! Pagi-pagi ngelamunin hal beginian! Mending aku mandi biar seger!"

Aku masuk kamar, lalu kembali keluar membawa pakaian. Bergegas menuruni tangga. Di ujung tangga, aku tidak sengaja melihat Gus Faqih yang sedang memegang sapu lidi di halaman. Matanya menatapku sebentar lalu kemudian mengalihkannya kembali ke arah teman-temannya dengan tertawa.

Apa yang aku ingini, mengapa aku tidak mau diperlakukan seperti ini. Sadarlah, Duroh. Kamu harus mampu menempatkan perasaan dan hatimu pada tempatnya! Mereka meninggalkan halaman tepat sebelum aku selesai melangkahkan kakiku di lesehan. Mungkin, itu atas dasar perintah Gus Faqih.

Ketika Santri Jatuh Cinta II (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang