Bagian 2

1.2K 75 13
                                    

"Mba Duroh dipanggil ke Kang Unah" aku kaget, menatap Aqila tak percaya.
"Ngaco kamu?"
"Iihh kata Mba Alfiya tadi dibawah" wah songong beneran diaduin, aduh astaghfirullah!! Emang sinting kaliya itu Mba Alfiya, beginian doang diaduin. Ih kesel banget sumpah! Ntar malem sahur, besok tuh mau puasaan. Bikin dosa aja sih!

"Mba Duroh ih malah diem aja lagi. Buruan suruh ke Kang Unah!"
"Ah males banget. Sendirian?" tanyaku, dia mengangguk.
"Masalah apasih?"
"Tanya aja sana sama yang tadi nyuruh kamu. Kesel banget dih" aku masuk kamar dan merapihkan kerudung serta mengambil jas.

Aku bergegas menuruni tangga, melewati kamar bawah dan kamar Mba Alfiya.

"Babayyy" sapanya dengan senyum sumringah. Aku pengen banget jorogin dia sekarang! Aku nggak jahat, dia duluan yang nyari masalah. Padahal aku diem aja loh ya, kenapa dia sampe sebegitunya sih? Astaghfirullah astaghfirullah astaghfirullah!!

Aku terus menerus membaca Ya Lathif tanpa henti. Semoga Kang Unah nggak nyewot, semoga aja Mba Alfiya nggak ngaduin yang enggak-enggak.

"Assalamu'alaykum Kang.." ucapku.
"Masuk Dur, duduk" aku langsung menekuk kaki dan mendekat ke arah Kang Unah dengan menunduk.

"Kamu punya masalah apa sama Alfiya?" tanyanya to the point. Ngadu apa sih dia dih. Jantungku udah jumpalitan dari tadi, astaghfirullah.
"Enggak ada Kang"
"Katanya kamu berantem" deg serrrrrr, rasanya darahku ngalir cepet banget. Mendadak ruangan juga panas nggak karuan.
"Mboten Kang" jawabku dengan masih menunduk.
"Emangnya ada masalah apa sih Dur, sampe harus berantem sama Alfiya" lah aku harus jawab apaan? Masa aku jawab dia nuduh aku ngerebut Hamid? Masa iya hal kaya gitu aja dibilangin ke Kang Unah sih. Kan itu privasi.
"Mboten Kang"
"Alfiya itu baik loh Dur. Banyak kelebihannya juga, jadi wajar aja kalau dia banyak yang nggak suka" iya baik banget, sampe segala sesuatunya diaduin ke Kang Unah. Apaan sih dih bocah! Astaghfirullah kang Unah kenapa sih harus dengerin omongan Mba Alfiya.
"Suara ngajinya bagus, kalau sholawatan juga suaranya bagus, sering ikut lomba MTQ juga. Kalau dibandingin sama kamu kan jauh" aku menatap Kang Unah tak percaya bahwa beliau bakalan ngomong kaya gitu. Ya Allah sakit amat.

Iya, emang. Kalau dibandingin sama aku tuh jauh banget. Tapi kenapa harus dibanding-bandingin juga sih. Apa faedahnya juga buat aku, emangnya aku bakalan jadi suka gitu sama dia. Ya enggak lah, aku masih normal jeh.

"Kamu suka sama Hamid?" Aku kembali melongo dengan pertanyaan Kang Unah. Beliau itu guru loh ya, astaghfirullah jangan sampai hamba berpikiran negatif terhadap guru hamba meskipun beliau tidak mengajari hamba.

Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullahal'adzim ya Allah ampuni aku! Aku nggak percaya kalau Kang Unah bakalan nanya hal kaya ginian sama aku. Apa pentingnya perasaan aku coba, ini privasi.

"Jangan ngerebut Dur. Lagian kamu ngajinya masih lama, fokus ngaji. Kalau Alfiya kan udah khatam"

Ini salah nggak kalau misalkan aku jadi jengkel ke Mba Alfiya? Ini salah nggak kalau misalkan aku jadi nggak suka ke Mba Alfiya? Salah nggak?!

"Nggih Kang" jawabku lirih. Aku males memperdebat, memperpanjang atau menjelaskan yang sebenarnya terjadi. Biar saja semuanya terjadi seperti yang Mba Alfiya inginkan, biar saja dia bahagia.

"Saya nggak mau ada keributan di pondok gara-gara masalah sepele kaya gini, Dur" tau masalah sepele kenapa dipermasalahkan sih Kang? Astaghfirullah ya Allah! Aku ini santri nggak sopan banget sih, guru lagi ngomong dijawab mulu dalem hati.

"Kamu yang anteng di pondok. Jangan karena anak dari kota jadi seenaknya sendiri nggak tau aturan" lah kapan aku ngelanggar aturan? Yang ngajak berantem duluan aja Mba Alfiya, kenapa jadi aku lagi yang salah sih? Istighfar lagi Duroh!

Ketika Santri Jatuh Cinta II (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang