Bagian 19

297 40 3
                                    

"Durooohh.."

aku langsung bergegas menuruni tangga begitu mendengar suara Mba Elok memanggil namaku. Meski suaranya tidak lantang tapi suasana pondok membuat suaranya bisa terdengar dengan jelas.

"Aaaa mba Elok. Bawa makanan gak?" tanyaku.

"Bawa dong. Elok tau kalau kamu laper. Tadi Elok juga beli capcin sama seblak. Makan yuk Duurr!"

"Aaah mba Elok mah, jadi bikin aku seneng. Hayuk ah! Aku bawain tasnya yah"

"Iya. Elok di atas dulu yah, Dur. Nungguin sampe anak-anak pada dateng"

Yes! Senangnya sudah ada satu orang yang nemenin aku. Seenggaknya jadi nggak sepi banget pondok tuh. Apalagi dibawain makanan gini sama Mba Elok. Ihh, dia pengertian banget sih kalau aku lagi pengen yang dingin-dingin di jam panas kayak gini.

"Katanya mau pagi, kenapa malah siang kesininya?"

"Kan Elok masak dulu, Dur. Terus Kakak Elok juga bisa nganterinnya abis duhur."

"Wihh, Dur. Kok bersih banget pondoknya sih." katanya begitu melewati tangga dan depan kamar yang mengkilat.

"Woiya dong. Aku kan rajin bersihinnya"

"Bagus, bagus! Elok jadi langsung betah kalau kayak gini"

"Wahhh.. capek.." keluh Mba Elok. Dia langsung selonjoran.

"Dur, kamu nggak takut dipondok sendirian?"

"Enggak. Biasa aja" jawabku.

"Gus Faqih nyamperin nggak, Dur?" tanya Mba Elok, membuatku menghentikan tanganku yang tadi sedang sibuk mengeluarkan makanan dari kresek.

"Hmm"

"Ihh, nyamperin?" dia langsung mendekat ke arahku.

"Udahlah, Mba. Jangan dibahas"

"Ngapain dia, Dur? Ngasih kamu buku lagi?" Aku menggeleng.

"Enggak kok. Cuman pamitan mau berangkat ke pondok, hari ini"

"Owalahhh, romantis tenan sih Gus Faqih!" hilihhh romantis apaan.

"Kayak gitu kok romantis!" protesku.

"Yaiya, Dur. Gus Faqih itu banyak yang suka loh. Beliau suka kamu kok malah dibiarin"

"Kalau Mba Elok sendiri, ditaksir Gus Faqih gimana?" tanyaku.

"Nggak mungkin!" jawabnya.

"Kalau mungkin?"

"Nggak mau lah" aku mengerutkan keningku.

"Loh, kenapa nggak mau? Beliau kan Gus!"

"Nggak ah. Elok nggak sanggup jadi istri seorang Gus. Nggak punya apa-apa, malu" jelasnya. Lah, apalagi aku.

"Mbak Elok aja bilang nggak punya apa-apa, aku sih gimana coba?"

"Eehh, ya beda. Pokoke Elok do'ain semoga kalian jodoh!" Ish, enak aja kalau ngasih keputusan. Orang aku yang ngerasain!

"Mba Elok sendiri nggak mau, kenapa aku harus mau coba"

"Wis pokoke. Manut saja, Dur. Siapa tau Payai dan Bu Nyai setuju." bisa aja ngelesnya, keluarga ndalem tau kabar ini, bisa-bisa geger lah.

"Saiki mah ngaji, Dur. Biarkan Gus Faqih fokus, Elok do'ain kalian."

"Ish ishhhhh, kenapa seolah-olah jadi kayak aku udah jadian sama Gus Faqih sih!" Mba Elok cuman nyengir.

"Aamiin." katanya seraya mengangkat tangan lalu mengusapkan ke wajahnya.

Ish, kok malah jadi ngeselin sih. Konsentrasi, Dur! Fokus! Fokus!

Ketika Santri Jatuh Cinta II (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang