Bagian 10

679 58 5
                                    

Aku membereskan lemari, karena tidak ada pekerjaan lain. Selesai taraweh biasanya bikin mie instan bareng atau sibuk ngobrol. Kali ini beneran udah nggak ada orang dikamar. Akhirnya malah ngacak-ngacak lemari.
Jadi keinget dua buku yang Mba Gita ambil deh, padahal aku belum selesai baca Rumah Rindu. Kenapa dia tega banget sih maen ngambil aja. Lagian kan itu gratis dari Gus Faqih.
Giliran dikasih buku gratis malahan kena sita.

Aku menatap lemariku dengan tatapan hampa, belum sehari jadi maklum kalau masih merasa kehilangan. Aku memutuskan untuk kembali memasukan semua baju, sarung, kerudung dan barang2 lainnya ke lemari. Males lanjutin, biarin aja lah lemarinya kaya gitu.

Aku membuka hp, mengaktifkan data dan banyak pemberitahuan yang masuk. Mereka sudah sampai, tapi sepertinya jam segini sudah istirahat. Ya, besok saja lah. Aku tidak mau mengganggu kenyamanan mereka yang sedang berada dirumah.

Ada banyak hal yang aku rindukan, adikku, Mamah dan Papah. Mereka apa kabar yah? Kalau aku telepon sekarang takutnya malah jadi sedih. Nanti aja deh, nunggu mepet takbiran. Aku nggak mau tiba-tiba mewek minta pulang karena nggak ada temen. Jiah, nggak lucu banget kalau gitu mah.

Aku menggelar kasur, pintunya ku tutup dan membiarkan lampunya menyala. Kamar yang tadinya sempit terlihat sangat luas sekali. Ah, aku benar-benar kangen mereka!
Sudahlah, aku mau tidur! Nanti sahurku kesiangan!

Sebenarnya banyak kesendirian didunia ini melebihi kesunyian sebuah gelap. Didalam ruang yang paling terang dan ramai sekalipun, hati yang selalu merasa sepi akan tetap kesepian. Sebaliknya, hati yang selalu ramai dalam tempat sepi pun dia tidak akan pernah merasakan kesendirian.
Bukankah, dalam sepi ini aku jadi bisa mengingati banyak hal yang bisa ku perbaiki esok? Atau mengingat bagaimana sebuah momen terciptakan sebelum datangnya perpisahan.
Kadang tidak punya teman yang memperhatikan adalah sebuah kesedihan, apalagi ketika melihat banyak orang yang bisa tertawa bersama-sama.

Menurutku, menyendiri adalah sebuah pilihan. Ketika bisa bergabung dalam sebuah keramaian adalah keputusan. Maka semuanya tergantung bagaimana diri sendiri yang mengatur.
Sedih, senang, menangis dan tertawa bisa disebabkan sesuatu tapi diri sendiri yang mengatur porsinya.
Seperti yang sudah sering aku katakan, untuk menjadi lemah atau kuat adalah sebuah pilihan.
Jangan pernah mau dikontrol oleh setiap orang tentang kesedihan dan kebahagiaan, jika diri sendiri yang lebih memahami apa yang diinginkan.

"Mbaa.. Mba Duroh!" aku menoleh.
"Apa Mba?"
"Bentar lagi Minggu terakhir puasa, mau pada ngadain acara bukber sepondok putri" aku mengangkat satu alisku. Yang tersisa kan juga nggak banyak? Tapi terserah apa mau Mba Alfiya aja sih, dia kan biasa ngatur pondok.
"Terus gimana Mba?" tanyaku.
"Ada urunan kah?" Dia mengangguk.
"Ada. Kita pesen yang instan ajasih biar nggak ribet masak" katanya.
"Duduk dulu" dia mengajakku untuk duduk dilesehan.
"Sebenarnya aku udah ngomong ke Mba Gita, cuman kata dia tanya juga sama anak kamar atas, kebetulan Mba Duroh lewat. Jadi, urunannya sekitar 10rban aja sih. Soalnya mau beli ayam bakar, nanti makannya pake daun aja. Nasinya digabung jadi satu juga"
"Ohh, persisnya acaranya mau kapan Mba?"
"Mmm, aku ngambilnya 2-3 hari sebelum takbiran ajasih. Soalnya nanti kan juga ada urunan buat beli jajan buat takbiran. Gimana?" tanyanya. Aku cuman manggut-manggut.
"Boleh sih"
"Mba Duroh hitung yah, dilantai atas ada berapa orang sekalian mintain uangnya, nanti setorin ke aku atau Mba Gita"
"Ohh, oke-oke"
"Yaudah. Makasih Mba" dia pergi dari hadapanku.
"Ya sama-sama"

Percaya nggak kalau yang tadi itu Mba Alfiya? Hmm, sebenarnya dia cukup bertanggungjawab dalam mengurus pondok dan santri baru. Dia sigap dan bisa melakukan banyak hal, bisa menggantikan Kang Unah juga buat ngajarin anak desa ngaji. Atau kadang, dia bersikap ramah pada semua orang. Dia punya banyak teman sekaligus pembenci. Kenapa? Karena kekurangannya itu, setiap orang jadi tidak bisa melihat kelebihannya. Apa-apa yang dia lakukan selalu aja dapet nyinyiran orang. Kadang aku kasihan sih, pasti dia sudah melewati luka dan banyak hal lainnya yang bikin dia jadi orang yang seperti sekarang.
Tapi, dia selalu dapet dukungan dari teman-teman segengnya. Yang kadang, aku juga ingin punya teman dalam suka duka bersama.

Ketika Santri Jatuh Cinta II (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang