Bagian 17

307 42 16
                                    

Biarkan angin menerpa dedaunan untuk dijatuhkan. Memberi salam kepada tanah yang berpijak. Lamban lain waktu merubah, rasa kepada suka. Dunia sangat luas untuk dijelajahi, tapi tidak jika dipikirkan. Dunia tidak amat berbeda dari yang aku lihat, ia sama. Berisi manusia dengan berbagai watak dan sifat.

Aku melihat langit dan pemandangan sawah yang begitu luas. Hamparan itu membuatku terkagum, bagaimana bisa sesuatu itu diciptakan dengan mudah dan indah? Dari sini aku jadi memahami, banyak sekali bentuk yang tidak bisa ku perkirakan. Mengapa awan berwarna putih, dan mengapa pohon punya banyak jenisnya?

Aku yang sedang menatap, burung yang sedang terbang, tumbuhan yang berfotosintesis, dan juga ikan yang berenang di dalam Balong. Mengapa semuanya bisa bergerak secara bersamaan yah? Wah, aku sangat mengagumi apa yang bisa aku lihat saat ini, dan membayangkan bagaimana manusia satu dunia bergerak secara bersamaan dengan pemikiran yang berbeda-beda.

Aku menghirup aroma pagi yang masih tersisa. Ah, ini sungguh nikmat yang tidak bisa untuk tidak disyukuri.

Aku berdiri, berencana untuk pulang ke pondok karena sudah jam 9. Aku lapar.

Langkahku tertahan saat membalikkan tubuh, aku terkejut dan hampir saja jatuh karena kakiku sendiri.

"Gu.. Gus Faqih.. Siweg nopo.." tanyaku dengan terbata.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana raut wajahku saat ini. Aku bingung, aku tidak bisa menghadapinya sendirian seperti ini.

"Jalan-jalan.. dan ketemu kamu"

"Ohh.. Monggo lanjutin, Gus. Saya mau ke pondok.."

"Dur.." langkahku kembali tertahan. Aku menunduk, menghindari tatapan matanya yang tajam.

"Apa Hamid adalah alasan?"

"Maksudnya? Saya nggak paham Gus.."

Hamid? Ada apa dengan Hamid? Kenapa mendadak membahasnya di tempat seperti ini dan suasana sepi seperti ini?

"Gus.. nggak baik sampeyan disini. Bisa jadi fitnah"

"Saya tau.. saya cuman mastiin jawaban kamu. Kenapa kamu selalu menghindari saya?"

"Saya tidak menghindar hanya saja--"

"Hanya saja apa?" Gus Faqih memotong pembicaraanku.

"Sampeyan Gus saya, Gus.." jelasku. Aku mendengar Gus Faqih menghela napas.

"Dan saya manusia, Dur."

Aku terdiam, tidak tau lagi bagaimana cara menjelaskannya pada Gus Faqih untuk tidak terlalu jauh dalam bertindak.

"Beri saya jawaban, iya atau tidak." Aku sedikit kaget dengan gretakan Gus Faqih.

"Untuk apa Gus, untuk apa sampeyan menanyakan hal seperti ini.."

"Untuk memastikan bahwa kamu sudah melupakan Hamid."

"Saya sudah tidak mengingatnya lagi. Mohon untuk tidak bertindak seperti ini, Gus. Saya melakukan ini untuk menjaga dan menghormati sampeyan."

"Saya juga berusaha menjaga kamu, meski cara saya salah."

Aku kembali diam, setiap kata yang keluar dari Gus Faqih membuatku semakin tidak bisa berpikir secara jernih. Aku sangat takut keluarga ndalem akan tau hal ini, dan mereka akan berpikiran bahwa akulah sebab yang membuat Gus Faqih menjadi seperti ini.

"Kamu hanya takut untuk dipandang buruk, Duroh. Ketika aku hanya mencoba menanyakan kepastian darimu, tapi kamu terus menghindariku dan membuatku bertanya. Apa yang kamu pertahankan saat ini?"

"Hafalan saya, Gus." jawabku dengan mantap.

"Oke. Kamu memang perempuan tangguh."

Lututku terasa lemas sekali sedari tadi mengobrol dengan Gus Faqih. Mengapa dia masih saja disini, apa dia benar-benar tidak takut akan ada orang yang melihat dan bisa menimbulkan salah paham.

"Tapi, terimakasih telah jujur mengatakan bahwa kamu menyukaiku meski kamu terus mengelaknya"

Aku langsung menatap Gus Faqih dengan tatapan heran. Dia terlihat menahan senyumnya, tapi tidak menatapku. Maksudnya apaan?!

"Terimakasih, sudah membiarkan saya mengobrol dengan kamu."

"Saya pulang dulu."

Tubuhnya perlahan menjauh, aku menatap punggungnya. Dia itu.. aaargghhhh!!! Astaghfirullah, Duroh! Nggak mungkin kan kalau dia denger aku ngomong pas kemaren di lantai atas?

Aku melihatnya tersenyum saat melangkah di depan Balong yang berbelok. Kacau banget aku, gimana bisa Gus Faqih seberani itu mengujiku!

Aku menyandarkan tubuh di randu besar.

"Please, Duroh. Lain kali jaga omongan kamu biar nggak ceplas-ceplos." aku memegangi bibirku, arghhh!! Aku benar-benar tidak punya muka lagi! Aku tidak ingin berpapasan dengan Gus Faqih! Aku tidak mau bertemu dengannya!

Pleaseeeeee, aku mau boyong ajaaaaa!!! Bawa aku pergi dari sini sekaraaaaaaanggggg!!!

Gus Faqih, kamu itu astaghfirullah, kenapa sih bikin rusuh pikiran aku terus. Apa dia nggak bisa sehari aja nggak bikin masalah sama aku? Apa dia tadi sengaja mancing-mancing aku bawa-bawa Hamid hanya untuk sekedar mengobrol lama denganku? Pintar sekali ya, dia, ini. Lain kali, aku nggak akan tertipu!

"Hhaaa tapi gimana dong ini! Kaki aku lemes banget. Aku kayak maling ketauan abis nyuri gini sih!! Ishhhh, jadi frustasi nggak jelas!"

"Duroh, kamu tuh, aduhh aku malu banget!"

Tidak ada selesainya jika aku hanya merutuki diriku sendiri seperti ini. Mending aku balik ke pondok, jangan kelamaan disini. Bisa aja, Gus Faqih mendadak balik lagi. Oh, tidaaak! Dia harus segera dihentikan berkeliaran dalam duniaku! Ini bukan hanya demi kebaikanku, tapi juga kebaikannya.

Apa Gus Faqih tidak menyadari posisinya sebagai seorang Gus, kenapa dia selalu seenaknya sendiri sih! Astaghfirullah, aku jadi berprasangka buruk kepadanya!

Aku menutup pintu Karang, dan menguncinya. Aku duduk dilesehan, menyandarkan diri ke tembok.

Banyak hal yang membuatku menyadari bahwa duniaku denganmu itu berbeda, Gus. Aku sudah jauh-jauh hari menyiapkan hati untuk tidak terpikat denganmu. Aku sungguh sudah menyiapkan diri untuk melukaimu agar kamu tidak semakin mendekat kepadaku. Bagaimana bisa kamu memahami setiap diamku selama ini. Bagaimana bisa kamu begitu teguh terhadap pendirianmu?




                      Aku, dan Rasa ini

Hempas kepada perasaan yang hening
Melarikan diri dari ruang nyaring
Sang kelopak mawar berguguran
Tangkainya melemah menjamah tanah
Duri mengenggam semu
Nyata bayang dalam lamunan
Dari jarak aku mengira
Dengan rasa kamu meraba
Setiap jengkal kediaman; membuka tabir rahasia

-Durrotustsaminah











🍁Nana Raynaa

(Uwu-uwuan dulu sebelum para santri balik ke pondok eeaakkk wkwk, tahun ajaran baru bakalan banyak yang riweuh. Dan abis ini juga Duroh bakalan ditinggal Gus Faqih kok, masih setia nungguin episode selanjutnya? Jangan tanya kapan tamatnya, karena cerpen ini menceritakan kisah kasih pesantren yang enggak pernah ada habisnya 😂. Tebak-tebak, apa Gus Faqih punya telepati? Ohiya jelas, kan tukang posnya authornya sih😆 gak deng canda. Cerita ini fiktif yak gais, nggak mungkin kalau kejadian gini, apalagi kisahku, beuhhhh lebih ngenes daripada Duroh 🤣 dahlah aku mau istirahat, bye😘)

Ketika Santri Jatuh Cinta II (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang