Bagian 31

169 31 6
                                    

Masa muda yang aku jalani bergantung dari pilihan apa yang akan aku pilih. Baik atau buruknya, dan bagaimana dampak ke depannya. Bisa aku sesuaikan dengan apa yang aku mau. Tapi, jika aku dulu tidak memilih untuk meninggalkan bangku kuliah dan menuju pesantren. Apakah, aku akan menemui teman-teman seperti disini? Atau apakah aku akan banyak merubah diri?

Semua ini indah, hal yang aku pilih saat ini tidak aku sesali sama sekali. Aku bangga diriku sendiri mampu bertahan hingga sampai titik ini.

Tahun ini juga, aku memutuskan untuk puasa di pesantren. Aku senang melakukannya. Banyak perasaan yang bisa aku syukuri disini.

Pondok pesantren sepi, karena sebagian memilih untuk puasa di rumah. Seperti biasa, pagi ini karena anak sekolah sudah berangkat jadi pesantren makin sepi. Aku lebih suka berdiam diri di karang, apalagi randu kembar. Adalah tempat favorit untuk duduk, muroja'ah, menulis, dan lainnya.

Aku berjalan pelan melewati Balong, melihat ke arah kanan, kiri dan pepohonan yang ada di karang.

"Dur.." Aku membalikkan badan dan menatap bulat ke arah seseorang yang barusan memanggilku.

"Bisa minta waktunya sebentar?" tanyanya dengan masih menunduk.

"Ini terakhir kalinya.." katanya lagi.

Aku celingukan. Takut tiba-tiba ada seseorang yang memantau.

"Ada Mukhlisin" katanya seperti tau gelagatku yang takut kena tadziran.

"Kalem Mbaak" teriak Mukhlisin dibalik tembok.
"Saya disini, kalem saja!"

"Ma-mau bicara apa Gus?"

"Kamu mau bicara berdiri seperti ini?" jarinya menunjuk ke arah belakang tubuhnya.

"Duduk disini" katanya. "Bisa?"

Aku mengangguk.

"Nggih"

Ada tumpukan kayu, dan aku memilih tempat yang nyaman. Tanpa harus diberitahu, Gus Faqih duduk dengan menjaga jarak yang hampir 1.5 meter dariku.

"Kamu tidak mau bertanya lebih dulu pada saya?" tanyanya. Aku menggeleng. Tidak ada yang ingin aku tanyakan sama sekali.

"Soal perasaan saya?"

"Memangnya apa yang harus saya ketahui Gus?" tanyaku sembari fokus menatap sampul tafsir.

"Jelas, kamu tahu tapi tidak ingin memperdulikannya bukan?"

"Bukan begitu, Gus"

"Saya tidak marah, Duroh. Saya hanya ingin berterimakasih karena kamu selalu berpegang teguh kepada pendirian kamu"

"Maksudnya Gus?"

"Iya. Terimakasih karena kamu mengabaikan perasaan saya. Sehingga saya tahu bahwa ini adalah ujian sesaat untuk para pencari ilmu. Hanya dengan melihat kamu, saya bisa memahami bahwa cinta sesaat seperti ini bukanlah prioritas utama kamu" aku semakin menunduk mendengar penjelasan Gus Faqih. Rasanya aku tidak sehebat kalimat yang diucapkannya barusan.

"Sikap kamu, membuat saya sadar bahwa apa yang saya lakukan selama ini adalah salah"

"Pangampurane nggih, Gus" aku mengucapkannya, karena aku merasa aku harus melakukannya.

"Saya yang seharusnya minta maaf karena menyendat perjalanan kamu"

Aku tidak bisa menanggapi setiap kalimat yang Gus Faqih ucapkan. Karena rasanya canggung berbicara dengannya langsung.

"Sejatinya, perasaan dalam perjalanan pencarian ilmu hanyalah godaan sesaat yang akan membuat kita tersesat. Saya minta maaf"

"Nggih, Gus"

Ketika Santri Jatuh Cinta II (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang