Bagian 26

258 42 4
                                    

Semilir angin menerbangkan banyak harapan. Tentang begitu banyak mimpi dan keinginan yang kelak mungkin bisa tergapai. Desas-desus merebak di antara para bunga. Apakah bunga yang gugur sudah mencapai apa yang dia harapkan? Atau dia gugur bersama mimpi-mimpi yang layu mati dengannya? Ataukah dia bersyukur setidaknya bisa hidup menikmati dunianya yang singkat?

Rerumputan itu seharusnya dia juga punya mimpi yang indah dan panjang. Bukan hanya sekedar hidup dengan liar lalu mati diterabas parang para santri. Aku kasihan, tetapi darinya tumbuh ulat-ulat daun yang kadang membuat gatal. Mau tidak mau, dialah yang akhirnya harus rela mati berkorban.

Apa mungkin begitulah Allah menciptakan sesuatu yang kecil didunia ini agar aku bisa memahaminya? Bagaimana dengan sesuatu yang besar seperti masalah yang sedang menimpaku kali ini? Tidak mungkin jika Allah hanya memberikannya tanpa menyelipkan pelajaran berharga padaku.

Aku merebahkan diriku di atas kasur. Menatap daun-daun pohon randu yang kecil dan memberiku keteduhan. Camping sederhana ala aku. Meski kasurnya udah keanginan kena debu juga tetep buat tiduran. Aku tidak peduli sih, yang penting nyaman.

Dedaunan itu kadang bergerak oleh angin. Dia tidak bisa berpindah tempat sedari kecil hingga kelak mati. Dia selalu berdiri di satu tempat yang mungkin bagi manusia membosankan. Bagaimana dia bisa sekuat itu? Kalau aku, pasti akan lebih memilih layu dan mati daripada harus hidup tanpa bergerak. Tapi, dia kan tumbuhan. Memang sudah takdirnya menjadi seperti itu yakan?

Jika aku yang jadi tumbuhan, aku akan menjadi apa yah? Apakah sebuah pohon, atau bunga-bungaan? Atau aku akan menjadi rumput liar yang sering dihilangkan. Hmm, sudah enak jadi manusia yang diberi akal tapi masih membayangkan untuk menjadi pohon.

Angin dan segala sesuatu yang diterpanya itu, apa mereka pernah saling jatuh cinta dan berharap? Apakah mereka juga pernah saling terluka ketika mengharapkan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan?

Aku penasaran sekali dengan hal seperti itu. Bagaimana bisa daun yang berguguran itu tidak membenci angin yang menjatuhkannya. Yang membuatnya terlepas dari ranting kesayangannya. Bagaimana bisa dia dengan ikhlas melepas ranting yang selama ini hidup dan tumbuh dengannya, dan secara sukarela mati di atas tanah.

Sekilas, aku jadi mengingat Gus Faqih. Kadang tingkahnya memang suka kelewatan dan nyeleneh. Aku tidak bisa mengerti juga bagaimana dia memandangku hingga memutuskan untuk mendekatiku. Apa dia penasaran atau benar-benar menyukai aku? Jujur, perempuan mana saja yang mendapat perlakuan seperti yang Gus Faqih lakukan akan luluh seketika itu juga. Tapi, aku memikirkan banyak hal sebelum meluluhkan hatiku sendiri. Fakta yang membuatku tersungkur terlebih dahulu sebelum memulainya.

Pada harapan-harapan yang melambung dengan tinggi, aku hanya menerbangkannya pada ruangku sendiri. Tidak mencoba untuk menunjukkannya pada dunia apalagi Gus Faqih. Cukup aku saja yang tau bagaimana keadaan hatiku.

"Woyy, Mbaaaa!!!" astaghfirullah suara Naura menggelegar banget.

"Paansih?!"

"Dih, lagian dipanggil nggak nyaut-nyaut!" Apaan aku nggak denger.

"Lagi ngelamunin apaan sih?!"

"Lagi liat daun tuh" tunjukku ke atas, dan kembali tiduran.

"Ihh, hayu ke pondok. Nania mau disidang hari ini. Besok dia dikeluarin!"

"Hah?!"

"Buruan makanya!!" Aku langsung bergegas menyusul Naura yang sudah lebih dulu melangkah.

Aku takut kena imbasnya lagi. Ntar kalau tiba-tiba Mba Gita nyerang aku gimana?

"Mba Gita gimana?" Naura langsung menoleh.

"Udah dilaporin ke Kang 'Aisyah kok sama Mba Dian". Huffff! Malah nambah masalah inimah.

Ketika Santri Jatuh Cinta II (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang