Bagian 9

640 59 3
                                    

Aku menatap langit yang berbintang dibelakang kamar. Berdiri menyandar di tembok dengan segala perasaan. Langit begitu luas menampung segala hal. Kadang dia mendung, kadang juga cerah. Keberadaannya selalu saja dikeluhkan. Terlalu panas, atau hujan terus-menerus. Tapi, dia tetap ada disana untuk hadir dan memberi banyak warna. Pada kehidupan seseorang, mungkin dia akan terlihat sangat berharga tapi bagi yang tidak menyukainya keberadaannya hanya sebuah hiasan semata. Langit tetaplah langit meski dia diperhatikan atau tidak, dia tetap cerah dan gelap. Tidak ada yang merubahnya meski banyak manusia merutukinya setiap saat.

Aku menatap ke bawah, ditumpukan sampah belakang pondok. Remang karena hanya terpancar satu lampu. Sampah disana jika diibaratkan aibku, mungkin baunya akan lebih busuk dari itu. Aku menyadari banyak kesalahan tapi kadang aku masih tetap melakukannya. Aku tau bahwa segala perbuatan akan dihisab tapi aku tetap saja tidak taat syariat.

Aku menghela napas, bagaimana kamu bisa berpikir tentang orang yang kamu sukai pada saat dimana kamu masih terus bertanya bagaimana keadaanmu ketika kelak kamu mati? Aku punya perasaan, tidak munafik mengakui bahwa aku memang punya rasa. Tetapi, sesuatu yang berlebihan selalu berakhir dengan tidak baik. Maka dari itu aku harus mengontrol diriku sendiri sebisa mungkin. Bukan karena aku tidak bisa melakukan sesuatu, hanya saja jika usahaku ku gunakan untuk hal lain yang lebih bermanfaat kenapa tidak?

Gus Faqih memang luar biasa, memangnya siapa yang tidak menyukainya? Bahkan senyumnya terlihat sangat manis dan tulus. Walaupun kadang dia sangat menjengkelkan dengan melakukan hal-hal konyol yang menyebabkan aku mendapat banyak masalah. Aku pikir dia baru pertama kali menyukai seseorang hingga tindakannya belum bisa dikontrol dengan baik. Dia juga punya sisi lain dari seorang Gus, yang kadang bertindak melebihi para santrinya. Dia berani mendekat, dan memberiku banyak hal. Ah, dia benar-benar memang. Tapi, aku yakin suatu saat nanti ketika dia sudah mulai berfikir dia akan menjauh dengan sendirinya dan lebih berfokus dengan cita-citanya. Hmmm, mungkin nanti kita akan berpisah dan memiliki kehidupan masing-masing. Aku tidak mau berharap, lagipula belum waktunya untuk menentukan ini.

"Liat apa sih, Mba?" aku tetap diam memperhatikan sampah dibawah.
"Apa nggak pegel berdiri terus?"
"Kamu besok pulang kan?" tanyaku tanpa menoleh ke arahnya.
"Iya, Mba. Mau ikut Aqila ke Tegal nggak?"
"Hmmm"
"Jangan sedih dong!" katanya merangkul erat pundakku.
"Naura sama 'Isma juga pulang kan?"
"Dih, Mba Duroh jangan sedih begitu dong. Aqila jadi ngerasa bersalah nih" aku menghela napas kembali.
"Tau ah. Meuni nggak ada yang nemenin aku lebaran disini. Udah mah aku dikamar sendirian" keluhku sambil duduk. Pegel banget berdiri terus.
"Nanti vcall biar nggak sendiri. Ok?"
"Halaahh palingan juga kalau udah dirumah mah sibuk sendiri!" sewotku lagi.
"Yaudah makanya ayo ke kamar. Terakhiran sebelum besok pada mudik!" Aqila menyeretku untuk bangun dan ke kamar.
"Sedih pisan ih, jahat kalian mah"

Begitu masuk kamar, mereka langsung heboh walaupun cuman berempat doang. Langkah pertama adalah aku membantu mereka membereskan pakaian, lalu selfie dan bikin video ala yutuber lalu berakhir dengan karaoke sampai serak suaranya. Capek, akhirnya satu persatu tepar tidak beraturan. Bahagia memang sangatlah sederhana, menghabiskan waktu dengan orang-orang yang kamu sayangi. Itu cukup. Aku bersandar ke tembok, melihat pemandangan dihadapanku. Memilih-milih teman memang tidaklah baik, tapi memilih teman yang baik adalah hak dari setiap orang. Berbaur dengan siapa saja tapi tetap harus membatasi diri agar tidak mudah terpengaruh dan terbawa arus. Mungkin banyak orang yang dekat dan menjadi teman tapi tidak semua orang bisa duduk dan mau untuk mendengarkan.

Aku melirik jam di dinding. Sudah menunjukkan tengah malam, aku ingin turun sebentar ke kamar mandi. Suasana pondok bisa sesunyi ini tapi mereka padahal masih membuka mata. Aku menuruni tangga dengan cepat, dan melewati lesehan.

Brakk!

Aku kaget setengah mati. Pintu menuju karang yang terbuat dari seng tiba-tiba terbuka.

"Astaghfirullah!" aku memegangi dadaku yang jantungnya berdetak dengan cepat sekali.

Ketika Santri Jatuh Cinta II (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang