Bagian 30

201 30 4
                                    

Dinding-dinding pesantren yang mulai mengelupas menjadi saksi kisah cerita yang bisu. Satu dua yang terlewati seperti masih jelas ceritanya. Rasanya baru kemarin aku mengalaminya, dan kali ini sudah banyak kenangan yang aku ciptakan.

Awal langkah kakiku menginjakkan pesantren ini dengan penuh tekad bahwa aku akan menyelesaikan segalanya sendiri. Tapi, saat aku lupa melibatkan Allah. Aku langsung mendapat teguran. Hafalan yang selama ini aku perjuangkan adalah pilihan yang ternyata punya banyak konsekuensi.

Dalam kehidupan ini, aku bahkan belum memulai apapun. Masih merasa bahwa hafalanku belum benar, niatku masih sering goyah, dan aku masih sering tergoda perasaanku sendiri. Ketika aku meyakini sesuatu, aku percaya kepada takdir bahwa yang diciptakan untukku takkan pernah kemana.

Di pesantren ini aku menumbuhkan banyak pikiran baru. Menemukan teman-teman baru juga. Aku senang, bahwa aku bisa masuk dalam lingkaran ini.

Aku sudah melewati banyak hal dan bertemu banyak orang baru. Memahami sifat dan sikap mereka yang kadang berubah. Itu manusiawi. Tinggal bagaimana aku mau menanggapinya atau tidak. Aku hanya ingin belajar dari apa yang aku lihat dan aku dengar. Aku tidak mau menjadi manusia yang gampang menjudge sesuatu yang belum pasti.

Para santri sudah menyibukkan diri kesana kemari. Aku masih diam bersandar di pagar tralis di depan kamar dan memandangi mereka semua. Tahun ini, khataman. Dan teman-teman angkatanku akan lulus tahun ini.

Kamu tau? Itu tidak menyedihkan tapi aku merasa sedih. Andai aku bisa ikut manggung tahun ini juga, apa aku akan senang dan berbahagia? Ya sudahlah, memang belum waktunya aku berada di atas panggung.

Ada banyak hal yang mungkin tidak aku ceritakan, tapi aku sudah banyak bercerita. Kehidupan dalam pesantren adalah sesuatu yang akan lekat menjadi kenangan dan disyukuri nantinya. Aku pasti akan rindu hal ini ketika sudah lulus kelak.

"Mba Duroh ih!" Aku menoleh.

"Apasih Nok nik!"

"Tadi kan pada diskusi bilghoib. Bagusnya pake selempang nggak ya?"

"Emang pake apa aja?" tanyaku.

"Pake mahkota, selempang kan niatnya sama bunga melati. Itu kan wajib!"

"Pake aja selempangnya. Boleh kan?"

"Tapi, bagus nggak nantinya?" tanyanya lagi.

"Bagus deuhhhh!"

"Oke!" Nok nik berlalu, udah? Gitu doang? Dih dasar!

Aku kembali menatap halaman pesantren. Rasanya memang banyak hal yang aku lupakan. Memori otakku penuh.

"Mbak Duroh lagi ngapain?" tanpa menoleh, aku kenal suaranya. Itu Rinda.

"Liat orang pada sibuk"

"Hehe kenapa nggak ikutan"

"Kan yang sibuk mbak-mbak bilghoib sama juzamma, Kaka Rindaaa!"

"Ohiya"

"Anak kamar lagi ngapain?" tanyaku

"Ngerencanain buat itu sih, apa namanya, acara arak-arakan itu"

"Ohh, jadi emang?"

"Iya, dikasih uang sama Kang 'Aisyah"

"Wahh, beneran?!" Aku sampe nggak percaya.

"Iya per kamar"

"Ohh.."

"Kak Rin, mau mandi kapan? Daftar!" teriak Kiki dari pintu kamar.

"Terus abis itu aku!" kata Zila.

"Mba Duroh yang mandi duluan!" Kata Rinda.

Ketika Santri Jatuh Cinta II (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang