Bagian 15

276 35 0
                                    

"Kamu di pondok sama siapa nanti?" tanya Mba Elok padaku.

"Sendiri."

"Yang bener sih?! Elok mau pulang nih! Jadi nggak tega ninggalin" aku senyum.

"Gapapa Mba. Kan ada hp, nanti kalau ada apa-apa aku telepon deh. Lagian keluarga ndalem juga dirumah semua kok. Santri putra juga ada. Pondok pasti tetep aman dan dipantau sama mereka"

"Bener yah, Dur? Kalau ada apa-apa telepon pokoknya!" Aku mengangguk pelan sebagai jawaban pasti agar Mba Elok tidak khawatir.

Aku hanya benar-benar ingin disini, semua santri sudah pulang kemarin. Mba Elok masih mempertahankan diri karena tidak tega meninggalkan aku sendirian. Padahal sih, gapapa. Pondok tetap biasa aja walau ada santri ataupun tidak. Ya, karena tidak ada yang membuatku merasa jadi berbeda.

"Elok pamit ya, Dur. Assalamualaikum"

"Wa'alaykumussalam. Hati-hati ya Mba Elok! Salam buat Ibunya!"

"Iyaaa"

Mba Elok menghilang setelah naik motor dijemput kakaknya. Fix! Pondok jadi serasa gede banget ada aku sendirian gini. Yah, seenggaknya aku nggak ngerasain berisik dan pusing untuk sementara waktu.

Tanganku langsung beralih memegang sapu, nggak betah liat lantai kotor. Aku menyapu dari Mushola, lesehan hingga tangga. Setelah itu aku berlanjut mengepel lantainya. Bolak-balik sampai badanku terasa gerah.

Aku merebahkan diri di Mushola dengan menyalakan satu kipas angin. Suwegeerrrr banget, berasa dunia milik sendiri. Ah, rasanya berada di pondok sendirian ternyata tidak begitu buruk. Memaknai kesendirian adalah hal yang menyenangkan. Begitu dingin dan sunyi. Aish, sebaiknya aku harus bergegas mandi sebelum langit mulai menggelap. Walaupun aku berani, tetap saja aku nggak mau kalau harus mandi sendirian!

Mitosnya kan, kamar mandi Aril itu ada penghuninya! Meski ya semuanya ada, tapi tetap saja sih. Aku harus cepaaaaaat!

Kakiku terasa nyaman saat menginjakkan kaki di lantai yang bersih meski nggak wangi. Aku mengecek semua pintu sebelum Maghrib, pastikan semuanya sudah terkunci.

Apa ada yah santri kek aku yang anteng di pondok sendirian gini. Meski nggak gede, tapi kalau dihuni aku doang sih ini terbilang kegedean. 6 kamar, 1 koperasi, 1 Mushola, 1 RT (Ruang Tamu), 1 dapur dan 9 kamar mandi. Dan kamarku terletak di lantai 2, ditengah. Semoga aku nggak kebelet jadi nggak usah naik turun tangga dan ke kamar mandi sendirian.

Ya ampun, Duroh! Apa sih yang kamu pikirkan sampai berani memutuskan untuk diam di pondok sendirian? Ah, udahlah. Ini cuman beberapa hari. Nanti juga pasti para santri udah mulai berangkat. Semangat Duroh!

Aku menatap layar ponsel, menarik ulur beranda sampai bosan.

"Mbaaa.. mbaaa.." aku mendengar suara dari luar.

"Mbaaa.." aku bergegas keluar dan melongok dari lantai 2.

"Mba sendirian di pondok?"

"Nggih, Kang. Apa sih?"

"Mboten. Saya ada di RT, kalau ada apa-apa, teriak aja ya Mba." Ish, ya jangan sampe ada apa-apa dong!

"Mba Duroh nggak tau saya kan?"

"Enggak. Gelap" kataku.

"Kang Ja'far, Mba"

"Ehh, maturnuwun Kang"

"Nggih, saya disini juga disuruh Nyai. Saya nggak sendirian. Ada Gus Faqih dan lainnya"

Deg! Mencelos langsung rasanya hatiku mendengar nama Gus Faqih disebut barusan. Stop Duroh! Beliau disini atas perintah Nyai! Bukan karena ada kamu! Astaghfirullah, udah deh!

"Mba, punya kopi nggak?" tanya Kang Ja'far.

"Good day gapapa?"

"Mboten nopo-nopo, Mba. Yang ada aja"

"Bentar yah!"

Makanan peninggalan anak-anak kamar sebelum mereka pulang. Kopi dan mie instan masih banyak. Dan kebetulan aku nggak terlalu suka ngopi.

Aku turun ke bawah dengan menenteng kresek, nggak sopan banget dilempar dari atas. Ya, meski nanti juga aku langsung lari abis ngasih.

"Ini Kang"

"Eh, loh, kirain mau dilempar dari atas"

"Mboten lah, Kang. Nggak sopan"

"Saya baru nyadar. Mba Duroh bisa bahasa Jawa juga ternyata" aku langsung menunduk, dan memberikan kresek.

"Nggih, sedikit."

"Maturnuwun, Mba."

"Sami-sami"

Aku langsung berlari menaiki tangga kembali, tidak mau menoleh atau pun kepo untuk sekedar menoleh di depan Mushola ada siapa saja. Ah, pokoknya aku malu kalau udah ada Gus Faqih! Botolnya belum aku balikin pula!

Tapi, sebentar lagi Gus Faqih bakalan otw nih ke pondoknya. Jadi, pasti nanti aku bakalan aman banget jauh dari jangkauannya. Hufffftt, semuanya jadi terasa berat saat dia ada. Masalah sepele jadi gede karena berurusan dengan dia. Hadeuhhhh!

Klinggg!!

Hpku berbunyi, tanda ada notifikasi masuk.

Ada WA, dari Gus Faqih! Astaghfirullah, aku nggak suka tapi kenapa deg-degan. Sadarlah, Durohhhh! Kamu itu siapaaaaa! Kamu cuman santri loh! Santri! Dan dia itu Gus kamu!

 Sadarlah, Durohhhh! Kamu itu siapaaaaa! Kamu cuman santri loh! Santri! Dan dia itu Gus kamu!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Oke, tarik napas, yang dalam, tahan, keluarkan. Fyuhh fyuhh fyuhh!

Mau dibales takut dia tambah ke-GR-an, nggak dibales jadi kayak nggak sopan. Gimana dong?

Cap cip cup kembang kuncup, pilih mana yang mau di cup!

Enggak, enggak! Aku nggak boleh bales! Tapi, gapapa kan? Nggak mau ah! Hapus!

Udah, Duroh! Jangan mulai bikin masalah di tahun ajaran baru. Please, Gus Faqih! Jangan mancing terus!

Ah, andai mudah untuk memulai jatuh cinta kembali. Tapi, aku takut. Luka kemarin akan kembali terbuka.

Lagipula, aku lebih sadar posisiku. Lebih banyak hal penting lainnya juga yang harus aku pikirkan.









🍁Nana Raynaa

Ketika Santri Jatuh Cinta II (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang