"Duroh!!" aku yang baru saja memejamkan mata untuk tidur siang jadi kebangun lagi. Ada yang manggil.
"Durooohh!! Paketaaan!!" aku berlari ke dekat tralis dan melihat dibawah ada Mba Gita, dia yang memanggilku.
"Dari siapa Mba?" tanyaku dari atas dekat pagar.
"Turun dong! Nggak sopan banget sih!" ketusnya. Lah kan aku cuman nanya dari siapa. Aku memperbaiki sarungku yang hampir melorot dan berlari menuruni tangga.
Kalau Ulfah yang ngirim kenapa dia kemaren nggak ngomong, apa jangan-jangan itu paketan dari Gus Faqih lagi? Aduhhh, aku takut!"Dari siapa Mba?"
"Nggak ada namanya" katanya dengan nada judes.
"Oh yaudah makasih Mba" aku memegang paketan yang masih dia genggam erat.
"Mba.." panggilku pelan, karena dia masih tetap memegangnya dengan menatap jengkel padaku.
"Buka paketannya, Nan" perintahnya pada Nania yang sedari tadi diam di sampingnya.
"Siap!" dia mengeluarkan gunting yang tadi disembunyikannya.
"Biar aku aja yang buka Mba" dia menampik tanganku yang hendak merebut paketan.
"Nggak usah!" aku pasrah, semoga kali ini bukan dari Gus Faqih.
"Buka Nan!" Nania membukanya, aku nggak tau isinya apaan, tapi ukuran paketnya lumayan. Kalau bisa aku tebak, isinya bukan buku.
Setelah unboxing selesai, masih ada kardus yang membalutnya. Mba Gita melirikku sebentar dengan senyuman yang hanya ditarik di satu sudut bibirnya. Dih, mukanya kenapa kayak gitu coba. Kayaknya aku bakalan dapet masalah besar."Botol minum dan surat" aku cuman diam, terserah lah.
"Coba buka suratnya, Nan" dih, Mba Gita udah persis banget bos. Nania menuruti perintahnya, dia membuka secarik kertas yang hanya ditekuk.
"Untuk Duroh yang ku cintai. Dari Hamid.." Aku membelalakkan mataku, berhenti bernapas beberapa detik kemudian menatap Mba Gita dan Nania secara bergantian. Ini gila! Nggak mungkin Hamid ngirimin aku paketan, pasti itu paketan palsu!
"Coba aku liat tulisannya!" kataku. Nania menjauhkan tangannya dariku.
"Udah jelas itu dari Hamid! Kamu mau apa lagi?!" Mba Gita mendorong tubuhku.
"Seenggaknya aku liat itu tulisan tangan Hamid atau bukan!"
"Ohh jadi kamu udah sering surat-suratan yah sama Hamid?" Mba Gita sengaja mengeraskan suaranya.
"Kok bawa-bawa Hamid?" Mba Alfiya tiba-tiba keluar dari RT (Ruang Tamu yang bersebelahan dengan Mushola). Mba Gita emang berbakat bikin orang emosi.
"Ada apa ya?" Mba Gita ku lihat sepintas senyum.
"Tanya aja tuh sama Duroh" katanya.
"Apaan emang?" tanya Mba Alfiya padaku. Aku tau banget ini pasti rencana Mba Gita, aku nggak suudzon tapi aku yakin banget Hamid nggak bakalan ngirimin aku paketan kayak gitu. Bahkan kita aja nggak pernah kontekan.
"Jawab Dur!" Aku bingung harus gimana, pasti Mba Gita bisa lebih pinter jawabnya.
"Ngg--"
"Itu paketan dari saya.." aku menoleh ke belakang. Di halaman dekat pintu dapur, ada Gus Faqih yang tiba-tiba muncul.
"Gus.." aku mendadak menunduk melihatnya datang.
"Tapi ini tulisannya dari Hamid, Gus" kata Mba Gita.
"Dari Hamid? Masa sih?" tanya Mba Alfiya.
"Coba liat kertasnya" dia merebut kertas dari tangan Nania, mengamatinya lebih lama.
"Hmm ini bukan tulisan tangan Hamid" katanya tiba-tiba. Ya jelas lah, Mba Alfiya lebih kenal tulisannya. Aku aja paham.
"Itu dari saya, cuman ada santri putra iseng yang naruh kertas itu disitu" aku meliriknya sebentar. Wibawanya keluar ketika dia bersikap dingin seperti ini, dia memang benar seorang Gus dengan pesonanya.
"Lagian Hamid nggak mungkin ngirimin kayak ginian ke orang macam Duroh lah!" Kata-kata Mba Alfiya terdengar merendahkanku.
"Apa maksud kamu dengan kata 'orang macam Duroh' ?" Aku bingung harus bagaimana, ingin menyuruh Gus Faqih berhenti tapi bagaimana cara menyampaikannya.
Mba Alfiya diam. Nania dan Mba Gita juga tidak berkutik. Aku bakalan dapet masalah besar abis ini, apalagi ini biang masalah semua.
"Semoga kamu suka hadiahnya, Duroh" katanya. Dia senyum, tapi aku yakin dia nggak tau apa isi paketannya. Aku yakin seratus persen ini kerjaan Mba Gita, tapi gimana caranya dia bisa ada disana tiba-tiba dan berlagak tau semuanya? Dia nguping dari tadi? Astaghfirullah, masa Gus kayak gitu."Udah jelas kan masalahnya? Bubar sana!" perintah Gus Faqih, dia berbalik dan kembali masuk ke dapur. Kalau aja tadi Nyai keluar dari pintu kamar yang menghadap halaman putri, bisa-bisa Gus Faqih langsung ditegur tuh masuk kawasan putri. Aku nggak habis pikir apa yang ada dalam pikiran Gus-ku yang satu ini.
"Awas aja kamu berani deketin Hamid!" ancam Mba Alfiya sebelum kembali masuk ke RT. Fyuhhh, satu selesai. Tinggal dua lampir dihadapanku sekarang. Maaf ya Allah, abis aku kesel.
"Brakk!" Mba Gita membanting botolnya ke lantai.
"Kali ini kamu beruntung. Lain kali aku nggak akan ngebiarin kamu dibela lagi sama Gus Faqih!" tuhkan aku bilang juga apa, pasti dia pelakunya. Kena imbasnya sendiri kan jadinya.
"Lagian Mba Gita ngapain sih?" tanyaku spontan. Aku keceplosan nanya, kenapa nggak diem aja sih. Aduh, Duroh!
"Kamu nanya ngapain? Apa lagi kalau buat bikin Gus Faqih menjauh dari manusia kayak kamu!" Dia menuding-nuding wajahku dengan telunjuknya.
"Mba, aku udah berapa kali bilang. Aku nggak suka sama Gus Faqih" kataku mencoba menjelaskan dengan pelan.
"Kalau gitu pindah dari pondok ini!" Aku melongo menatapnya. Harus banget pindah cuman karena masalah kayak gini?
"Ya tapi.. masa harus.."
"Selama kamu ada disini, Gus Faqih nggak bakalan bisa jauhin kamu" lah itu urusan Gus Faqih, kenapa jadi malah nyalahin aku sih?
"Masa aku harus boyong cuman masalah sepele kayak gini?" tanyaku.
"Sepele kata kamu?" Dia kembali menuding wajahku. Rasanya pengen aku tarik jarinya terus suntrungin badannya.
"Kamu udah merebut perhatian seluruh santri putra dan putri hanya karena kamu dari kota!" whattttt??? Kenapa aku nggak ngerasa kayak gitu? Bahkan aku minder banget mesantren disini, karena mereka pinter semua. Apa yang perlu diperhatiin dari aku coba? Mba Gita emang aneh kalau nyari alasan, nggak jelas.
"Tapi aku--"
"Mentang-mentang kamu bisa nulis puisi dan cerita, seenaknya aja jadi populer dan bikin Gus Faqih juga tertarik sama kamu!" Astaghfirullah! Terus itu salah aku? Kan aku nulis karena suka, terus aku harus gimana? Jangan-jangan bagi Mba Gita, aku napas aja udah salah?
"Mba beneran aku nggak ada maksud nyari perhatian, dan aku nggak pernah ngerasa diperhatiin"
"Halaahh, alesan doang! Aku tau kamu aslinya suka tebar pesona kan sama santri putra?" Aku nggak ngerti harus gimana lagi ngomong sama Mba Gita.
"Pokoknya kamu boyong, masalah dipondok clear!" dia pergi dari hadapanku.
"Makanya Mba Duroh, jadi santri putri jangan sok cantik dan tebar pesona gitu" Nania menatapku dingin dengan tersenyum sinis. Pengen banget aku jorogin dia!
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Santri Jatuh Cinta II (End)
Roman pour AdolescentsSQUEL KEDUA!! Kalian bisa baca squel pertama biar nggak pusing memahami alur dan tokohnya yah, judulnya sama "Ketika Santri Jatuh Cinta" 🌼🌼🌼 Masih tentang santri, masih tentang banyak masalah yang dialami santri, masih tentang Durotuss Tsaminah y...