24

328 43 12
                                    

Aku kembali dari toilet dengan perasaan yang bingung, aku menyadari bahwa aku belum sepenuhnya mengenal suamiku itu tapi aku tidak menyangka kalau kita akan terasa se orang asing seperti ini.

Mino masih duduk disana, melamun sambil bertopang dagu, aku melihatnya dari kejauhan dan perasaaan aneh apa ini? Aku tidak bisa marah, aku tidak bisa sedih, aku tidak bisa menuntut Mino untuk bercerita semuanya kepadaku.

Ia seketika tersenyum ketika melihatku berjalan kearahnya. Kemudian menggapai tanganku saat aku sepenuhnya duduk dikursi tadi.

"Agendanya apa hari ini?" Tanyaku lembut.

Mino menatapku.
"Entahlah, mungkin bermain game..." Ucapnya acuh.

Aku mengangguk mengerti, kemudian kami pergi untuk kembali kekamar.

***

Dan hari ini adalah hari bermain game paling tidak menyenangkan selama hidupku. Kepalaku terus-menerus dipenuhi berbagai pertanyaan, soal Mino tentu saja.

Pria itu terus tersenyum bodoh seakan menutupi sesuatu yang mengganjal diantara kami. Dan aku terus menanggapinya meski pikiranku tak pernah ada disana. Apa sulitnya Mino bercerita? Bukankah aku juga berhak dapat penjelasan.

Tapi seketika aku mendengus sambil tertawa pelan, hal itu bisa dibalikkan untukku, apa sulitnya bertanya? Bukankah aku berhak untuk memberikan pertanyaan?

Mino disebelahku masih mengemudi untuk kembali ketempat kami berasal, liburan yang bukan terasa liburan karena bukannya meringankan otak yang bekerja seharian malah lebih membuat otak bekerja extra.

"Tidur saja, perjalanan masih panjang..." Mino berucap lembut. Aku menoleh kearahnya, dan kembali perasaan ragu menghampiri kala aku akan bertanya.

Aku mengangguk pelan dan menyender ke dekat pintu. Tak sadar aku tertidur.

***

Aku merasakan sebuah tangan besar mengusap-usap pipiku, dan aku menggeliat hingga melihat Mino yang begitu jelas dihadapanku. Ada magic apa dalam wajah pria itu hingga aku tidak sampai hati hanya untuk bertanya padanya?

"Bangun... Kita sudah sampai..." Ujarnya lembut.

Aku mengerjap dan hanya menatap bola mata jernih miliknya.
"Sudah sampai?" Aku kembali memastikan.

Ia mengangguk dan tersenyum lembut.
"Mau aku gendong sampai keatas?" Candanya.

Aku terkekeh pelan kemudian menggeleng.
"Kau tidak akan sanggup menggendongku..." Balasku.

Ia menyipitkan kedua matanya, menatap tersinggung padaku.
"Kau tidak percaya? Sini..." Ujarnya sambil meraih pinggangku bersiap untuk menggendongku.

"Eeh... Jangan jangan... Aku bisa sendiri..." Tolakku langsung, ia kemudian menatapku, dan kami bertemu pandang, satu senyum sama-sama kami lontarkan hingga tercipa sebuah tawa bodoh dari masing-masing.

Aku meregangkan badanku sejenak sambil menunggu Mino mengeluarkan beberapa barang bawaan kami. Aku kemudian mengekor dibelakangnya, dapat menatap punggung lebarnya.

"Lanjut tidur saja, kau pasti capek..." Mino berujar sesaat setelah kita sampai apartemen.

Aku merenggut heran.
"Kau yang menyetir jadi pasti kau yang lelah... Istirahatkan saja..." Balasku.

"Pasti lapar, mau aku masakkan apa?" Lanjutku kemudian.

Ia kemudian menghampiriku, membawa tubuhku dalam pelukan hangatnya. Ia lalu mengelus puncak kepalaku seolah aku gadis baik yang baru diberi hadiah. Kepalanya menyandar pada ceruk leherku, membuatnya menunduk dan tenggelam disana.

"Kau kenapa?" Aku bertanya hati-hati.

Ia menggeleng pelan dengan posisi yang sama.
"Terimakasih..." Jawabnya pelan.

Aku mengernyitkan dahiku.
"Untuk apa?"

"Tidak bertanya apapun padaku..." Lagi ia menjawab lirih. Aku mencelos, rasa penasaranku semakin meningkat, ia semakin mengeratkan pelukannya padaku.

Aku membalasnya, semakin melingkarkan tanganku pada punggungnya, mengelusnya lembut. Kami kemudian bertemu pandang setelah menyelesaikan pelukan itu. Aku menyorot matanya dan mencelos ketika melihat tatapan tak biasa dari Song Mino.
"Kau bisa cerita kapanpun kau mau..." Aku berucap.

Ia sedikit menyunggingkan senyumnya, kemudian mengangguk pelan.
"Maafkan aku belum bisa menceritakan semuanya padamu..." Ia menjawab dengan lirih.

***

Aku tengah berbaring dikasur menunggu Mino yang masih dikamar mandi. Sambil sedikit membaca bukuku meski tak kupungkiri bahwa pikiranku banyak melayang kesana kemari.

Song Mino keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih bercucuran air, ia kemudian mengucek-ucek kepalanya dengan handuk agar kering. Aku tertawa kecil melihatnya yang kesusahan mengeringkan rambutnya sendiri.
"Sini..." Ujarku sambil mengajaknya mendekat kearahku.

Ia terkekeh karena tahu apa maksudku. Aku kemudian meraih handuknya juga membantunya mengeringkan rambutnya.

Aku tidak pernah mengira membantunya mengeringkan rambut akan semendebarkan ini. Ia menatapku dengan begitu lembut, membuatku memerah gila.

Ia kemudian mendekat kearahku, mendempet tubuhnya padaku hingga hanya garis halus yang memisahkan. Bibirnya yang memesona kemudian mendekat kearahku sambil tatapannya begitu intens menyorotku.

"Ke... Ke... Keringkan dulu... Keringkan dulu rambutmu..." Ujarku yang malah gugup.

Ia tak goyah dan malah semakin menantangku, bibirnya meringsek mulutku dengan apik dan aku hanya bisa menutup mataku tak bergerak sedikitpun. Hingga begitu panjang kegiatan malam kami dan aku terlelap dalam pelukan telanjangnya. Dan aku samar-samar mendengar lirihannya kala mataku hampir terlelap.

"Maafkan aku yang mencintaimu..."

Kisah Menjelang MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang