8

365 49 9
                                    

Aku melongo melihat Mino yang kini mulai membenahi barangnya dikamarku, ini Hal baru bagi kami Dan aku sedikit tidak nyaman karenanya. Aku tidak pernah sedikitpun membayangkan bahwa kami sekarang tidur satu kamar.

Mino melihat kearahku. Ia menatap sebentar aku.
"Kalau kau tidak nyaman aku bisa tidur dilantai..." Ucap Mino santai.

Aku menatapnya. Opsi itu mungkin bagus tapi alangkah tidak manusiawinya Aku jika membiarkan pria yang berstatus sebagai suamiku Aku biarkan tidur dilantai.
"Eeeuuuhhmm... Tidak usah... Tidak apa-apa..." Ucapku gugup.

Mino kembali menyorotkan sudut matanya padaku.
"Kau yakin?" Tanya Mino.

Aku mengangguk pelan sebagai jawaban.

***

Aku tidak menyangka tidur seranjang dengan suamiku sendiri Akan secanggung ini. Buktinya Aku dari tadi hanya pura-pura terpejam walau Indera pendengaran Dan otakku masih siap siaga.

Berbeda dengan Mino yang sepertinya sudah terlelap. Aku tidak tahu, aku mengarah pada arah yang berlawanan dengan Mino.

Pikiranku terus-menerus melayang. Berpikir bagaimana ini menjadi keputusanku? Maksudnya sejak kapan aku peduli dengan pernikahan ini. Tujuan awalku untuk menikah hanya agar anakku tahu bahwa ia punya seorang Ayah, namun bayiku sekarang telah tiada jadi aku bisa terlepas dari Mino.

Aku juga kembali teringat kejadian kurang lebih enam bulan yang lalu, itu pertama kalinya aku kehilangan keperawananku, sialannya oleh Mino, saat itu aku tidak terlalu tahu bahwa seks Akan menjadi semenyaramkan ini akibatnya.

Pikiranku melayang hingga aku Tak tahu sudah sampai Mana sekarang. Sampai aku terlelap dalam Dan Tak sadar bahwa pagi telah menjelang.

Aku bangun mendapati Mino yang masih terlelap disana. Aku turun dari ranjang sepelan mungkin agar tidak membangunkannya, bukan alasan kesopanan namun aku yang tidak sanggup menahan kecanggungan ketika Kita berhadapan Setelah tidur bersama.

Aku berjalan pelan menuju kamar Mandi luar karena lagi-lagi aku tidak sudi untuk membuat Mino bangun karena keran airku. Aku keluar dengan membawa pakaian lengkap kerjaku. Terlalu pagi untuk Mandi memang, namun bersiap bekerja lebih baik daripada seharian bersama Mino.

***

Aku keluar kamar Mandi dalam keadaan Segar walau tidak dapat dipungkiri bahwa lingkaran dibawah mataku melebar.

Daripada berpikir yang tidak-tidak tentang pernikahanku yang rumit luar biasa lebih baik aku menyiapkan sarapan untukku, suamiku, Dan ibu mertuaku... Hhh.. agak aneh sebenarnya menyebut Mino suamiku dan Ibunya Ibu mertuaku, walau itu yang sebenarnya, tapi tetap saja aku canggung dengan panggilan itu.

"Sayang... Sini ibu saja yang memasak..." Ibu mengagetkanku dengan sapaannya.

Aku hanya tersenyum sambil memotong wortelku.
"Tidak usah, ibu duduk saja..."

Ibu memilih diam ditempat dibanding duduk seperti yang kuminta. Aku menatap Ibu.
"Tidak apa-apa bu... Aku bisa kok..." Ucapku meyakinkannya.

"Irene... Aku... Aku minta maaf, aku tahu ini berat pada awalnya, tapi bisakah kalian mencoba untuk memulai saling mencintai?" Ucap Ibu sendu.

Aku menghentikan acara memotong wortel Dan memberi atensiku sepenuhnya pada Ibu. Aku tersenyum.
"Aku... Tidak tahu bu... Maaf..." Jawabku penuh penyesalan.

Ibu kembali menatapku sendu.
"Kalian sebenarnya Ada masalah apa? Kenapa terlihat sangat besar? Hmm?"

Aku menggeleng sambil tersenyum.
"Aku juga tidak mengerti... Hubungan kami memang seperti ini dari dulu, kami menikah hanya karena bayi yang aku kandung Dan kami harus mempertanggung jawabkannya..."

"Apa Mino tidak mau membuka hatinya untukmu?" Tanya Ibu pelan.

Aku menatap sendu kearah wortel yang baru saja kupotong, bentuk cincang yang acak-acakan.
"Kami sama-sama tidak ingin membuka hati, aku selalu menyangkal bahwa kini Aku punya suami Dan Mino yang selalu pergi Dan tidak pulang... Kami tidak Ada waktu untuk saling membuka hati..."

Ibu menyentuh lenganku, memaksaku untuk melihat pada sorot matanya.
"Bukankah kemarin kalian bilang akan memperbaiki hubungan?"

Aku terlonjak, lupa akan perkataan Mino kemarin. Aku menghela napas dalam-dalam.
"Aku tidak mengerti, Mino yang menginginkannya. Aku selalu berpikir bahwa berpisah adalah jalan yang terbaik bagi kami..."

Ibu kembali mengusap-usap lenganku.
"Tidakkah kau berpikir bahwa Mino mencintaimu untuk itu dia tidak ingin menceraikanmu?" Tanya Ibu putus asa.

Aku menggeleng sambil mendengus pelan.
"Tidak bu... Mino tidak mungkin seperti itu... Mino terlihat tidak seperti itu... Mencintaiku maksudku..."

Ibu terlihat seperti wajah yang ragu. Aku menatapnya.
"Kalian... Kalian... Tidak pernah kau tahu... Seks lagi?" Ucap Ibu.

Aku sedikit terkekeh.
"Tidak bu... Mino bilang dia sudah pernah menyentuhku sekali Dan itu cukup untuknya, jadi ya... Kami tidak mungkin seks lagi kan?"

Ibu menatap sendu padaku, membuatku merasa bersalah entah mengapa karena perbuatan kami. Aku memerhatikan air muka Ibu yang kini tengah menghela napas panjangnya.

"Maafkan kami bu, karena tidak bisa membuat ibu senang... Maafkan kami karena telah membohongi kalian..." potongku agar mencegah air mata yang sepertinya mau menetes diantara mata kami.

Namun siapa sangka, Ibu malah menitikan air mata, membuatku gelagapan karena perasaan yang mengecewakannya. Ibu mulai memelukku, mengusap-usap punggungku dengan halus.
"Tidak sayang... Kami yang salah telah memaksa kalian menikah... Tolong maafkan kami..." Ucap Ibu bergetar.

Aku jadi mengikuti suasana haru ini. Aku kemudian menitikan air mataku juga, membiarkan segenap rasa bersalahku mengalir bersama air mataku.
"Tidak bu, aku janji mulai sekarang aku mencoba lebih baik lagi dengan Mino..."

Ibu Mino menatap lurus kepadaku, sedikit menghapus terlebih dahulu air mata dipipinya.
"Sayang... Kalau kau memang berpikir bercerai adalah jalan terbaik, bercerai saja... Jangan buat kami seperti penghalang untuk hidupmu dan Mino. Aku tidak akan memaksa kalian untuk bersama lagi..."

Kisah Menjelang MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang