9

406 53 12
                                    

Aku kini tengah termagu didepan jendela kamarku. Aku tidak jadi bekerja karena Ibu melarangku keras hingga aku terpaksa diam dirumah seperti sekarang. Mino juga dilarang bekerja hari ini, entah apa maksud Ibu mengurung kami berdua dirumah sedangkan Ibu pulang dari tadi.

Sebenarnya sekarang lebih mudah karena nyatanya aku sudah mendapat restu untuk bercerai dengan Mino dari Ibu barusan. Tapi masalahnya, apa Mino mau bercerai denganku? Dan apa aku rela bercerai dari Mino?

Aku tidak mengerti jalan pikiranku sekarang, pernikahan ini bukan hal yang kuinginkan namun disatu sisi aku ingin mempertahankannya.

Aku melirik kearah langit biru melihat burung-burung begitu bebas beterbangan, membuatku iri dengki, karena hewan itu lebih beruntung daripada aku.

Aku merasakan pintu kamarku terbuka, aku buru-buru melirik kearahnya. Mino masuk melihatku kaget yang terlihat terkejut karena kehadirannya.
"Maaf, aku mau ambil baju..." Ucap Mino gelagapan.

Aku belum terbiasa dengan situasi ini. Aku mengangguk kikuk kearah Mino sambil sesaat kemudian berbalik lagi kearah jendela.
"Soal perkataanmu kemarin... Apa kau yakin? Soal memperbaiki hubungan kita?" Tanyaku walau mataku tidak mengarah kearahnya.

Helaan napas Mino terdengar jelas ditelingaku.
"Ya... Maafkan aku tapi aku tidak bisa menceraikanmu..."

Aku mengangguk tanpa menoleh kearahnya, aku lanjutkan lagi memandang lagit yang kian biru pertanda sudah siang, aku juga biarkan pikiranku melayang mengikuti sorot mataku pada burung yang bersahutan.

Bodoh memang kalau bilang aku bahagia dengan pernikahan ini, bodoh juga kalau aku tidak stress karena obrolan Mino kemarin mengenai perbaikan hubungan kami.

Song Mino adalah Song Mino, segala pesonanya mampu menundukkan beberapa wanita sekaligus, aku heran kenapa dia mau terjebak pada pernikahan ini, maksudnya, ya aku mengerti bahwa Mino bermaksud bertanggung jawab karena aku hamil, tapi sekarang? Rasanya sia-sia karena kami hidup tanpa cinta.

***

Aku merayap perlahan keluar dari kamarku, mengendap-endap bak maling dirumahku sendiri. Sulit untuk merasa terbiasa setelah kami tidur bersama.

Aku kira Mino akan pergi karena tadi ia hendak berganti pakaian. Aku sampai terlonjak karena selarang melihat Mino yang tengah menyeruput kopinya sambil menonton TV.

Mino merasakan kehadiranku sehingga ia menoleh kearahku. Aku kikuk karena ketahuan seperti maling jadi berdiri tegap yang mana akan memperparah kebodohanku.
"Aku...aku...aku kira kau pergi..." Ucapku gugup.

Mino hanya melongo kepadaku.
"Tidak... Ibu melarangku untuk pergi hari ini..."

Sialan! Mengapa Mino manut sekali terhadap Ibunya itu. Aku melihat gestur tangan Mino yang menepuk-nepuk sofa agar duduk disebelahnya.

Aku dengan ragu berjalan kearahnya. Duduk disebelahnya dengan kikuk dan hampir gila. Untuk menghilangkan rasa canggungku aku putuskan fokus terhadap acara TV didepanku.

Aku perlahan mulai fokus pada film yang memutar lika-liku sepasang kekasih itu. Mino juga kelihatannya terhanyut pada film itu. Hingga satu adegan itu muncul.

Aku tahu mukaku memerah saat melihat sepasang kekasih dalam film itu berciuman dengan panasnya. Aku tidak berani melirik kearah Mino dengan ekspresi muka seperti ini.

Sialan! Adegan itu lama sekali! Bisa-bisa berlanjut pada adegan selanjutnya lagi! Ya! Benar dugaanku, keduanya saling melucuti pakaiannya. Aku beranikan menoleh kearah Mino, betapa kagetnya aku ketika melihat ia juga tengah menoleh kearahku.

Aku tahu dan aku mengerti sorot mata itu menatap nyalang terhadapku seolah akan memakanku hingga ke tulang-tulangku. Dia menatapku dan mukaku semakin merah dan panas.

Mino mendekatkan wajahnya kearahku. Dan aku tidak tahu setan macam apa yang merasukiku hingga aku membiarkan bibir Mino menempel dengan bibirku.

Oh tuhan! Aku lupa bahwa Song Mino adalah salah satu pencium terhebat yang aku tahu. Mino terus menghilangkan jarak diantara kami. Bibirnya bergerak seolah memang ada yang menggerakkannya dan perlahan lidahnya masuk kedalam mulutku mengajakku beradu.

Tangan kirinya kini berada dipinggangku untuk menopangku. Aku terpejam menikmati sentuhan lembut Song Mino si pencium hebat. Lidahku dan lidahnya sudah bersatu tanpa jarak membuatku terlena dengan apapun yang dilakukannya.

Untuk pertama kalinya bibir yang seksi ini kembali mendarat pada bibirku setelah enam bulan yang lalu, rasanya sama, bahkan kurasa semakin panas, kupikir Mino mungkin banyak berlatih enam bulan belakangan ini.

Ini adalah ciuman terhebat yang pernah kurasakan, Mino mencium bibir bawahku sekarang. Tanpa lelah ia kembali melahapku dengan rakus. Aku malah melingkarkan lenganku pada pundaknya saat aku tahu bahwa kegiatan ini harus aku hentikan secepatnya.

Tidak ada waktu untuk melenguh merasakan perlakuannya karena bibirku terus dibungkamnya. Mino mulai menyentuh pundakku. Kemudian menyelipakan rambut pada telingaku.

Aku semakin terlena karenanya hingga aku membiarkan Mino menggerayang lebih jauh. Mino kemudian meraba payudaraku, ia meremasnya keras hingga aku berteriak dan memaksanya untuk melepaskan ciumannya.

Sialan! Aku lupa kalau payudaraku tengah sensitif terhadap sentuhan. Payudara kananku sakit sekali karena diremas Mino dengan kuat.

Mino terlihat kaget, begitu juga aku. Kami terengah-engah karena sama-sama kehabisan napas ditambah aku yang kesakitan karena remasannya.

"Ma...ma...maaf..." Ucap Mino gelagapan. Aku masih meringis merasakan payudaraku yang sakit. Sialan! Aku malu sekali sekarang!

Kisah Menjelang MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang