Aku tidak yakin sejak kapan tanganku diraih Mino hingga sekarang kami bergenggaman tangan. Semua hal yang kulakukan dengan Mino adalah pertama kalinya.
Mino sebenarnya cukup asik jika seperti ini, setidaknya mulutnya bisa sangat cerewet dan kebiasaanya yang suka menyentuhku.
Kami masuk salah satu toko perhiasan, disambut oleh salah seorang pelayan yang mengira kita pasangan yang akan menikah. Aku tertawa saja dalam hati. Bahkan kami tidak pernah memakai cincin pernikahan karena pernikahan kami ya... Sedikit aneh.
Pilihan kami akhirnya jatuh pada satu kalung berliontin berlian warna biru membentuk seperti bunga yang cantik. Aku sempat menatap satu cincin indah dipojok kiri toko. Mino yang melihatku menatap meler cincin itu tertawa.
"Kau ingin itu?" Tanyanya santai.
Aku gelagapan dan menggeleng kaku.
"Tidak..."Mino mencubit pipiku dengan tatapan gemasnya.
"Kau tidak berbakat untuk berbohong..."Aku mengaduh cubitannya, malu dengan pemikiranku yang mudah ditebak.
"Ini juga..." Ucap Mino pada salah satu pelayan disana.
"Padahal tidak usah..." Ucapku malu-malu.
"Tidak apa-apa, cincin pernikahan kita kan dibelikan ibuku, sekarang ini cincin pernikahan dariku..." Ucapnya sembari menyodorkan sekotak cincin yang baru dibelinya tadi.
Tidak dapat dipungkiri kalau hatiku menghangat karena perlakuannya.
"Mmm... Terimakasih..." Ujarku malu-malu.Mino kembali menggenggam tanganku saat keluar dari toko itu. Meski otakku tidak dapat dengan baik mencerna perlakuan Mino, namun hatiku merekah hingga sebuah senyum terus disunggingkan olehku.
Mino masih menggenggan tanganku sepanjang perjalanan dengan wajahnya yang nampak tak berdosa. Pria itu sesekali tersenyum dan menoleh kearahku namun cepat-cepat ia alihkan lagi walau aku memergokinya.
Kali ini aku memutuskan untuk menjadi pasangan normal bersama suamiku. Walau tidak banyak yang jadi topik pembicaraan kami, hanya seputar pekerjaan dan teman-teman.
"Makan malam?" Tanyanya tiba-tiba. Aku menoleh kearahnya sambil mengangguk pelan.
Kami putuskan makan disalah satu restoran bergaya klasik, cocok untuk sepasang suami istri. Kami duduk dipojok sebelah kanan ruangan. Memesan beberapa makanan untuk makan malam.
Aku melihatnya lebih tepatnya menatapnya bagaimana ia menggulung kemeja putihnya dan memanerkan otot tangannya kemudian memotong sepotong daging panggang untuk dirinya sendiri juga untukku, perlakuan hangat yang baru pertama kali aku dapatkan.
Aku kaget bukan main saat seseorang menepuk pundakku. Aku langsung menoleh kearah belakangku. Jennie berdiri dengnan cengirannya bersama Hanbin disebelahnya.
"Uuuu... Jadi kalian rujuk?" Tanya Hanbin meledek.Aku yang malu bukan main hanya bisa menatap Jennie yang penuh tanda tanya. Jennie satu-satunya orang yang tahu tentang kehidupan pernikahanku dari awal.
"Mino romantis juga mengajakmu ke tempat seperti ini..." Tutur Hanbin lagi."Kau pikir aku tidak bisa romantis apa?" Elak Mino tersinggung.
"Kita duduk disini saja ya sayang?" Tanya Hanbin pada Jennie. Jennie yang tengah melamun menatapku tajam akhirnya tersadar dan mengangguk spontan.
Kami akhirnya duduk berhadapan dengan pasangan masing-masing. Aku yang pertama kali kepergok seperti ini diam seribu bahasa, hanya bisa menyuapkan sedikit demi sedikit makananku.
"Kau punya cincin baru?" Sontak Jennie saat melihat sebuah cincin melingkar dijari manisku.
Aku gelagapan dan buru-buru menyembunyikan jariku dibalik meja.
"Ehhh... Iya... Mino baru membelikannya..." Ucapku tergagap.Mino tersenyum bangga dengan pelakuannya. Sedangkan Jennie kini tengah menutup mulutnya yang menganga.
"Waahhh... Cincin ini kan mahal sekali!""Apa yang tidak mau kubelikan untuk istriku tercinta ini?" Ucap Mino tiba-tiba samb meraih tanganku kemudian menciumnya tepat. Aku terbelalak. Antara malu dihadapan Jennie dan Hanbin dan perasaan senang dihatiku.
Aku yakin pipiku memerah sekarang, sedangakan Jennie serta Hanbin menatap kami dengan bosan. Akting yang sempurna didepan Hanbin yang tidak tahu apa-apa.
***
Kami akhirnya pulang dan berada disofa tengah meregangkan kaki. Mino sesekali melirik kearahku, membuatku kembali memerah dengan sorot matanya itu.
"Aku masih tidak mengerti dengan sikapmu..." Ucapku pada akhirnya.
Mino menoleh kearahku menetapkan sorot matanya pada mataku.
"Aku akan mencoba sekuat tenaga agar kau tidak mau bercerai..." Ucapnya sendu.Aku menghela napas.
"Kau mau membuatku menyukaimu setelah itu apa? Tidak ada jaminan kau juga menyukaiku kan?" Alasan logis untuk tidak memutuskan mencintai Mino, tidak ada jaminan apapun untukku.Mino menatap penuh damba.
"Jaminan untuk menyukaimu selalu ada, aku menjaminnya jauh sebelum kau tahu..."Aku menatap Mino tidak mengerti.
"Aku tidak ingin menyiksa diri dengan melakukan hal yang sia-sia lagi...""Aku menyukaimu jauh sebelum ini, aku hanya perlu waktu untuk meluruskan pikiranku..." Ia kemudian meraih tanganku, mengecup lembut disana. Hatiku menghangat meski beberapa pertanyaan masih bersarang dikepalaku.
"Kau tidak usah berbuat lebih jauh dari ini jika memang tidak sanggup..." Giliran aku yang menggenggam tangannya erat.
Mino mendekat kearahku, berhadapan langsung pada wajahku. Aku kaget dan membelalak. Mino mulai meraih tengkukku kemudian mengecup bibirku singkat.
"Aku harus berbuat lebih jauh agar aku bisa memilikimu sepenuhnya..."Kata itu secara tidak sadar menyihirku, Mino kembali mencium bibirku, meringsek mulutku agar masuk lebih jauh.
Aku jadi ikut terpejam dengan sentuhannya pada leherku, Mino tahu cara membuatku melayang, merasakan lembutnya sentuhan. Aku menyentuh tulang pipinya, mengusapnya lembut. Mengajaknya beradu lebih mesra.
Mino menyentuh bagian tubuhku yang lain, bergerak membuka kancing blouse yang seharian aku pakai, lengannya bergerak secara alami dan aku masih terlena dengan ciuman dalamnya.
Kami tidak mengerti, terlebih aku, apa yang salah dengan otakku sehingga aku mau diperlakukan semacam ini. Kami melakukannya seolah memang kami ditakdirkan untuk bersama.
Tidak menyadari betapa ganasnya hubungan kami, baju kami telah berserakan disofa, kami kemudian bergerak cepat menuju kamar. Melanjutkan lagi kegiatan menyenangkan ini sampai kami tidak sadar bahwa kami terlelap bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Menjelang Malam
Fiksi PenggemarSemua Hal berpacu pada waktu, entah itu baik atau justru buruk untukku. Waktu yang membuatku akhirnya berbicara, menuntunku hingga bertindak, Dan mengarahkanku juga pada sesalan tiada ujung. Mungkin menjadi ilalang semakin menguntungkan, karena aku...