Song Mino.
Hanya satu nama itu yang belakangan muncul dikepalaku, bukan karena semata dia adalah suamiku yang baru-baru ini terasa seperti suamiku betulan, tapi semua picisan puzzle yang entahlah sangat sulit kurangkai hingga sekarang, Mino itu terlalu abu-abu, dia itu terlalu bias sampai aku sama sekali hampir tidak mengenalnya, meski aku sadar, kami sudah melalui banyak hal, banyak sekali hal yang mana aku harus sabar menunggu, sampai mungkin ia bisa sedikit terbuka denganku.
Karena kurasa meski kami sudah melihat bagian tubuh masing-masing, bertelanjang polos dihadapan masing-masing, sama-sama memuja bagaimana kami menginginkan satu sama lain, tapi itu sepertinya belum cukup untukku meringsek masuk kedalam pikirannya seperti yang ia lakukan padaku, aku belum bisa sampai sana, sekali lagi aku mengingatkan diriku sendiri, semua ini perlu waktu, mungkin memang ada beberapa hal yang belum Mino sampaikan padaku. Tapi ada kalanya aku terburu-buru, merasa ingin cepat-cepat diberitahu, ingin cepat berdiskusi, terkadang juga aku terlalu lelah hingga rasanya ingin menyalahkan diriku sendiri, apakah disini yang kurang hanya ada padaku? apakah dia sebenarnya tidak sedalam itu menyukaiku? tidak seperti apa yang ia utarakan padaku?
Seperti saat ini, dua minggu semenjak kami pulang dari acara retret, Mino nampak bersikap 180 derajat berbeda kepadaku, ia masih menyapaku, ia masih tersenyum dan mencium bibirku saat hendak berangkat kerja, bahkan kami masih melakukan seks sesekali, namun sorot mata pria itu berbeda, pupilnya menggelap ketika menatapku, kepalanya seakan sesak hingga ingin meledak saat berbicara denganku, wajahnya terlihat lelah menahan amarah ketika ia baru pulang dan melihatku. Aku tidak tahu dimana letak kesalahanku, aku juga tidak tahu kenapa belakangan ini aku semakin membenci diriku sendiri.
Hingga sekarang, pukul 1 tengah malam, aku sengaja menunggu Mino untuk setidaknya berbicara, bertanya kenapa suasana kami lebih buruk dari tujuh bulan lalu? Kenapa aku tidak boleh tahu? Dia tidak kunjung datang, entah itu presensinya atau sekedar notifikasi yang muncul dari ponselku ketika kami berpesan.
Aku mencoba menelponnya, setidaknya untuk mendapat kabar bahwa ia masih baik-baik saja diluar sana. Namun nihil hasilnya, pria itu tak kunjung menerimanya, aku coba sekali lagi, berharap hasil berbeda terjadi, dia kembali tak menjawab. Aku menghela panjang napasku, sesak lagi dadaku, padahal aku baru saja tahu bagaimana caranya tersenyum, padahal aku baru saja merasakan satu momentum yang membuatku berseri.
***
"Irene?" Pak Jinyoung memanggilku, aku menoleh kearah belakang, menunggu lift bersama.
Aku tersenyum menyapanya, dia balik tersenyum kepadaku.
"Hari ini makan siang bersama ya?" Katanya, persis seperti suruhan.Aku jelas tidak terlalu menginginkan makan bersamanya, maksudku untuk apa?
"Aku ada janji makan siang dengan Wendy Pak..." Bohong. Jelas, itu bohong, aku dan Wendy mana pernah janjian untuk sekedar makan siang bersama?Pak Jinyoung menekuk sedih bibirnya.
"Yahhh... yasudah tidak apa-apa..." Katanya.Aku sedikit bernapas lega karena biasanya pria itu terus menerus memaksaku hingga akhirnya aku ikut. Hingga pintu lift terbuka, kami masuk bersama dengan dua karyawan lain yang masuk juga beriringan. Pak Jinyoung menghimpit kearahku.
"Omong-omong, kau belum punya jawaban atas pertanyaanku?" Tanyanya.Aku mematung, pertanyaan yang itu, tentu saja, aku tidak lupa, hampir setiap hari aku memikirkannya, apalagi dengan sekarang Mino yang entah kemana pergi tak ada kabar.
"Mohon... mohon beri aku sedikit waktu lagi ya Pak, hehe..." Ucapku basa-basi.Aku belum memulai hariku, tapi rasanya tubuhku lebih lelah dari apapun. Song Mino! Benar-benar menyita pikiranku, dan sekarang ia bahkan tidak mengabariku barang setitik pesanpun?! Sialan!
"Kenapa mukamu ditekuk begitu?" Wendy bertanya padaku ketika aku baru duduk dikursiku.
Aku menghela napasku, memejam mataku sesaat.
"Tidak... hanya sedikit masalah..." Kataku mencoba membungkamnya.Wendy berhasil menebak moodku, dia kemudian mengangguk dan kembali pada pekerjaannya, aku acuh padanya, bukan waktunya untuk peduli, lalu kuraih salah satu berkas yang sudah seperti tumpukan diatas mejaku, suasana hatiku semakin berantakan, hingga satu nama perusahaan muncul dalam salah satu arsip tumpukan kerjaku. Itu tempat Mino bekerja!
Belum saja aku mencoba ketempat kerja Mino, berdalih karena berkas-berkas ini butuh revisi atau apapun itu agar aku pergi kesana, sebuah dering telepon muncul.
Aku merogoh ponsel dari tas kerjaku, melihat nama Ibu mertuaku tertera sebagai si penelepon. Tumben sekali Ibunya Mino meneleponku.
"Hallo?" Ucapnya dari seberang sana."Iya Bu? Ada apa meneleponku?" Tanyaku sebagai jawaban.
"Rene... apa... apa kau bisa kesini?" Suaranya bergetar, aku bingung.
"Kenapa bu?" Tanyaku lagi, apakah ada hal yang penting?
Jeda sebentar, namun masih kudengar suara isakan diseberang sana. Ada apa lagi ini?
"Mino... Mino kecelakaan..." Satu kalimat itu, hanya satu kalimat yang membuat seluruh tubuhku mencelos.Aku panik.
"Mino? Kenapa Bu? Ibu sekarang dimana?" Kataku sambil pikiranku entah melayang kemana."Ibu dan Ayah sekarang sedang menuju rumah sakit, kau... bisakah kemari?" Suara ibu masih bergetar.
Aku tak kalah kalutnya sekarang. Aku sekarang pada posisi dimana tidak memberitahu siapapun bahwa aku punya suami, otomatis aku tidak bisa beralasan bahwa suamiku kecelakaan pada Bos. Dan ah! Sialan!
Aku menghela napas, mencoba menjernihkan pikiranku. Menimbang resiko mana yang lebih ringan kuterima. Aku menoleh hati-hati kepada Wendy.
"Wendy..." panggilku, kemudian wanita mungil itu menoleh padaku.
"Bisa aku bicara sebentar?" Dengan hati-hati aku bertanya. Wankta itu kelihatan bingung, raut wajahnya nampak aneh.
"Berdua?" Kataku mempertegas kalau bicara sekarang bukan yang kuinginkan.
"Ada apa?" Katanya penasaran.
Aku berdiri dari kursiku, menuju toilet kemudian diekori oleh Wendy yang masih kebingungan. Sesampainya di toilet, aku menguncinya, memastikan yang bisa mendengar hanya aku dan Wendy saja.
"Bisakah kau ambil dulu pekerjaanku untuk hari ini?" Tanyaku gugup.
Wendy mengerutkan dahinya terlihat kebingungan.
"Kenapa? Kau ada apa?" Tanyanya.Aku menghela napas sebentar, berancang-ancang untuk memberi tahu Wendy yang sebenarnya.
"Suamiku kecelakaan..." Kataku akhirnya.Wendy membelalak.
"Hah? Suami? Sejak kapan kau punya suami?" Katanya kebingungan."Akan kuceritakan nanti, intinya bisakah kau membantuku hari ini?"
"Tunggu... maksudmu kau sudah punya suami dan sekarang suamimu kecelakaan?"
Aku mengangguk.
"Aku tidak mengerti Rene..." Katanya.
"Akan kujelaskan, kumohon... aku akan mentraktirmu nanti..." Ujarku pasrah.
"Ya... maksudku aku bisa membantumu, tapi ini betulan?"
Aku mengangguk lagi.
"Yasudah, cepat sana, nanti aku yang bilang pada Pak Jinyoung..."
"Tapi..." Ujraku terbata.
"Tenang saja aku tidak akan memberitahu siapapun soal suamimu..." Katanya menyela.
Seutas senyum tercipta dibibirku, setidaknya aku lega untuk yang satu ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Menjelang Malam
FanfictieSemua Hal berpacu pada waktu, entah itu baik atau justru buruk untukku. Waktu yang membuatku akhirnya berbicara, menuntunku hingga bertindak, Dan mengarahkanku juga pada sesalan tiada ujung. Mungkin menjadi ilalang semakin menguntungkan, karena aku...