16

450 47 18
                                    

Aku menggeliat pelan ketika netraku sadar bahwa saat ini waktunya untuk bangun, disebelahku masih terdapat Mino dengan tubuh tanpa busana dan lengannya yang masih bertengger kekar pada tubuhku.

Aku tersenyum dan memanas mengingat kegiatanku semalam bersamanya, tidak ada sedikitpun paksaan, kami berdua dengan rela melakukannya, dengan rela menikmatinya.

Meski aku masih tidak mengerti jalan pikiran Mino yang serba rumit, aku hanya bisa berharap bahwa hal ini bisa menjadi awal perjalananku bersama pria yang berstatus suamiku ini. Mengukir kenangan baru dan tinggal mengenangnya ketika kami sama-sama tumbuh tua. Seperti Ayah dan Ibuku, seperti Ayah dan Ibu Mino.

Pendengaranku merasakan hal lain, seperti seseorang memekik kaget. Aku buru-buru waspada, dengan cepat aku meraih bathrobe dan mengikatnya secara asal, rambutku yang acak-acakan perbuatan Mino semalam aku cepol dengan sembarangan.

Betapa kagetnya aku ketika keluar kamar dan melihat orang tuaku beserta orang tua Mino yang tengah berdiri kaget sambil melihat pakaianku dan Mino yang berserakan.

Aku gelagapan, gerakanku jadi tak karuan dengan buru-buru mengambil pakaian itu tanpa memberi salam pada mereka dulu. Aku dengan cepat melemparnya sembarangan pada kasur dengan Mino yang masih tidur disana.

Mino terusik dan akhirnya bangun melihatku yang bergerak panik.
"Kenapa?" Tanya Mino dengan suara seraknya.

"Bagaimana orang tuaku dan orang tuamu tahu tentang password rumah kita?" Aku bertanya dengan cepat sambil mengambil pakaian baru yang ada dilemariku.

Mino mengernyit tidak mengerti.
"Apa maksudmu?" Tanya Mino lagi. Sekarang ia sudah menegakkan tubuhnya.

Aku berpakaian seadanya.
"Meraka ada disini!" Ucapku panik.

Mino membolakan matanya.
"Kenapa mereka kesini?"

"Aku tidak tahu! Sekarang cepat berpakaian dan keluar kamar!" Aku masih dengan nada yang panik.

Mino mengikuti saranku ia kemudian mengambil pakaiannya dengan asal sedangkan aku mencuci mukaku dengan asal pula. Kami kemudian siap dibelakang pintu masih mengatur napas dengan perlahan.

Aku meraih tanganku bergerak pada rambut Mino yang acak-acakan, merapikannya dengan kedua tanganku seadanya. Mino tersenyum dengan perlakuanku.
"Tenang... Mereka juga mengerti kok kita habis berbuat apa..." Jahilnya.

Aku mendelik kearahnya yang sedang cekikikan melihatku panik. Mino membuka pintu perlahan dengan santainya, aku hanya bisa mengekor dibelakang Mino.

"Kami... Maaf... Kami khawatir karena tempo hari lalu Irene bilang kalian akan bercerai jadi kami putuskan untuk kesini..." Ucap Ibu Mino dengan gugup.

Mino tertawa garing.
"Tidak kok... Kami baik-baik saja, iyakan sayang?" Ucap Mino sambil sebelah tangannya merangkulku.

Aku terkekeh dengan cara yang canggung mengangguk dengan pelan.
"Iya... Hhh... Tidak usah khawatir Ayah... Ibu..."

"Haha... Iya kami jadi tidak khawatir kok sekarang..." Ucap Ibu mertuaku.

"Sekarang ulang tahun Ibumu, jadi kami memutuskan merayakannya disini...! Hanya pesta kecil-kecilan saja antara keluarga kita..." Ayah Mino giliran bersuara.

Aku masih berada dalam rangkulan Mino dengan tatapan yang canggung bagi semua orang.

"Eeeyy... Kalau Ibu bilang dari kemarin kan kami bisa siap-siap..." Ujar Mino mewakiliku.

"Kita sudah bawa ini!" Ibu Mino berucap dengan menunjukkan barang bawaannya yang kuyakini makanan, sekitar dua tas besar dengan beberapa kotak makan didalamnya.

"Biar aku siapkan..." Ucapku untuk memghindari kegugupan. Aku lalu meraih tas besar itu kemudian menuju dapur untuk menyiapkannya.

Ibuku serta Ibu Mino menyusulku, membantuku untuk menyiapkan beberapa piring.

"Aku senang kalian..." Ucap Ibu Mino saat menyiapkan Japchae kedalam piring. Ia menatapku, setidaknya menatap leherku tajam. Aku langsung tahu kenapa ia menatapku.

"Oouuhh..." Aku langsung membuka cepolanku untuk menutupi tanda dileherku yang aku yakin sudah mereka lihat.

Sialan! Kenapa hari seperti ini datang padaku?!

"Tidak apa-apa, kami juga mengerti kok..." Kini giliran Ibuku yang tengah memanaskan sup rumput laut di kompor.

***

Acarapun dimulai aku serta keluarga yang lain kini tengah berdoa akan kesehatan Ibuku, suasana yang paling ia impikan dalam berkeluarga, hangat seperti kue yang baru diangkat dari panggangan.

Aku dan Mino saling beradu pandang, memastikan perasaan canggung yang dialamiku, kami hanya saling menatap tanpa sadar banyak mata diruangan ini. Mino langsung menyunggingkan senyumannya, manis sekali, aku balas tersenyum kearahnya.

Setelah Pak Jinyoung mengajakku berkencan, aku masih belum bisa memberi jawaban kepadanya. Jinyoung, pria lembut walau sedikit menjengkelkan, yang selalu ada untukku, yang rela memberikan segenap jiwanya padaku, ya... Jika ditilik Pak Jinyoung punya segalanya dan sanggup memberikan segalanya untukku.

Sementara diseberangku terdapat Mino, suamiku, suamiku yang entah kenapa canggung rasanya hanya sekedar memanggil kata sayang untuknya. Kami mengawali hubungan dengan cara yang salah dan kami menjalani pernikahan dengan cara yang ganjil pula hingga rasanya sesak jika ditilik lagi.

Pak Jinyoung yang tidak kusadari sudah menjadi bagian kehangatan tubuhku atau Mino yang memang berstatus sebagai suamiku, mereka sama-sama punya kekurangan yang berbeda, hingga aku lupa, bahwa aku tidak bisa egois akan keduanya, egois untuk memilikinya, fakta bahwa aku harus memilih membuatku membenci opsi, karena aku takut salah mengambil langkah, hingga aku kembali pada kehidupan yang tidak sesuai lagi.

Kisah Menjelang MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang