Aku menegakkan badanku Setelah memastikan bahwa Hari ini sudah pagi. Tidurku tidak bisa nyenyak semalam, selain karena sakit yang masih kurasakan, perilaku Mino juga membuatku bertanya-tanya.
Ditambah sekarang kepalaku puyeng Dan pandanganku memanas. Aku menderita.
Mungkin dinilai berlebihan, tapi coba bayangkan, Song Mino tidak pernah sekalipun mengajakku bicara selama Lima bulan belakangan ini, namun dia mengucapkan Selamat malam?!
Aku menghela napasku kasar Dan beranjak menuju kamar Mandi untuk Mandi.
***
Ini Hari sabtu, aku tidak perlu ke kantor. Aku meraih sebuah amplop cokelat dari Laci kamarku, keluar kamar dengan buru-buru karena Ada yang harus kusampaikan pada suamiku.
Aku mengedarkan pandanganku Dan tidak sedikitpun melihat atau merasakan kehadiran pria itu. Aku coba menuju pintu kamarnya, mendekatkan kupingku pada pintu kayu itu seperti maling.
Tidak Ada suara sedikitpun disana. Ah... Sial! Dia sudah pergi!
Mungkin kalian bertanya-tanya bagaimana aku menjalani hidupku selama Lima bulan belakangan ini. Tapi percayalah, kami tidak pernah bertengkar atau berselisih tentang apapun. Semua berdasarkan kebebasan masing-masing, aku bebas sesukaku Dan ia bebas dengan dunianya.
Kami tidak pernah bertemu dengan sengaja, Mino biasanya pergi lebih awal Dan pulang lebih terlambat dari kantornya, begitu pula dengan akhir pekan, aku tidak yakin ia pergi kemana, yang pasti kami saling memastikan bahwa akting kami cukup bagus dihadapan orang tua kami. Ya... Aneh... Tapi beginilah keputusan kami.
Aku mendengar suara digit pintu yang sedang dipencet, kupastikan itu adalah Mino karena siapa lagi yang tahu Sandi itu?
Mino terlihat terengah-engah sambil dipenuhi keringat, sepertinya dia habis berolah raga. Mino menatapku, sedikit heran dengan aku yang masih dirumah.
"Apa kau Ada waktu?" Tanyaku ragu-ragu.Mino mengelap keringat dengan handuk dipundaknya.
"Kenapa?" Tanyanya balik kepadaku."Hal yang cukup serius..." Ujarku. Sebenarnya agar dia berganti pakaian Dan tidak membicarakan Hal ini dengan kaos penuh keringatnya.
Mino mengernyitkan dahinya sebentar sebelum mengerti Akan ucapanku.
"Aku ganti baju dulu..." Aku mengangguk sebagai tanggapan.***
Mino sudah kembali, kini ia duduk dihadapanku dengan kaos santainya. Aku lalu menyerahkan amplop cokelat yang sedari tadi kupegang.
Mino membuka lipatannya. Mengeluarkan sebuah kertas lain disana. Mino menatap mataku dalam-dalam, sorot matanya berubah.
"Aku ingin Kita bercerai..." Ucapku pada akhirnya.
Mino perlahan menaikkan manik matanya terhadapku. Tanpa Ada sepatah kata apapun.
"Tidak..." Ucapnya dingin.Aku mengernyitkan dahiku.
"Kenapa?" Tanyaku singkat.Rahang Mino menegas, Dan sudut matanya mulai meruncing, ia terpaku ditempatnya.
"Aku tidak bisa menceraikanmu..."Aku menatap aneh wajah Mino yang berubah drastis itu.
"Iya kenapa? Lagi pula dari awal hubungan Kita seharusnya memang tidak usah berlanjut"Mino menggeleng pelan, ia menatap geram amplop yang kuberi tadi.
"Sampai kapanpun aku tidak Akan menceraikanmu..." Jawabnya dengan nada sedikit meninggi.Aku mulai kesal.
"Kenapa? Sudah kubilang dari awal hubungan Kita memang salah... Aku tidak sanggup lagi...""Bagaimanapun kau meminta aku tetap tidak Akan membiarkanmu pergi..." Tegas Mino lagi.
"Lalu kenapa? Selama ini kau bahkan tidak peduli terhadapku, saat aku terpaksa kehilangan bayi Kita, kau bahkan seolah menganggap bayi itu memang bukan anakmu..." Ucapku mulai menangis.
Aku mengusap tetesan yang keluar dari mataku.
"Selama ini, kau pernah memperlakukanku dengan baik? Tidak kan?!"Raut muka Mino tambah mengeras.
"Aku sudah berusaha memperlakukanku sebaik mungkin..."Aku mendecih sambil air mataku yang masih mengucur.
"Memperlakukanku dengan baik huh?! Kau bahkan tidak pernah menyentuhku, menyentuh bayimu, atau sekedar menanyakan keadaanku saat itu..." Murkaku.Mino memelotot kearahku.
"Aku pernah menyentuhmu sekali Dan itu sudah cukup, aku tidak akan merelakanmu pergi..."Aku menghembuskan napasku kasar.
"Terserah kau saja, aku Akan panggil pengacaraku dan kau sebaiknya siapkan juga pengacaramu..." Cicitku."Kau tidak akan mungkin menang, aku memberimu uang bulanan, aku tidak pernah main tangan terhadapmu, alasanmu tidak Akan kuat untuk menceraikanku..." Tutur Mino lagi.
Aku mendelik kearahnya dengan ingusku yang mulai keluar.
"Silahkan saja, aku tidak tahan hidup bersamamu!" Ucapku lagi.Aku berdiri hendak beranjak dari sofa laknat itu menuju kamarku untuk menenangkan diri atau setidaknya mengelap ingusku yang belepotan.
Namun pandanganku begitu kabur saat aku mencoba untuk berdiri, kepalaku pusing Dan tubuhku seakan memberat.
***
Aku bangun dengan keringat yang mengucur deras. Tadi aku bermimpi tentang Hari dimana aku tersenyum lebar selebar-lebarnya.
Dalam mimpi itu aku mengenakan gaun selutut berwarna merah Muda dengan sedikit aksen renda disekitarnya. Aku bercermin, terlihat sangat menawan. Disebelahku seorang gadis kecil menggenggam tanganku dengan erat, kami mengenakan gaun yang senada, sangat serasi.
Namun anak itu tiba-tiba menghilang ketika aku mengedipkan mata, membuat pandanganku mengedar kesekitarnya, mencarinya dengan khawatir, memanggilnya dengan putus asa. Aku mulai menangis, berharap gadis itu kembali kepadaku Dan menggenggam lagi tanganku, tapi sebagaimanapun raungan menggema, gadis itu tidak kembali, gadis yang seharusnya bisa kujaga sekarang hilang entah kemana.
***
"Ibu?" Tanyaku ketika perlahan aku membuka kedua mataku. Ibuku menatapku haru.
Ibuku tersenyum, sambil menggenggam tanganku, sorot matanya terlihat sendu melihatku terbaring diranjang Rumah sakit.
Aku mengedarkan penglihatanku, menilik lagi siapa saja yang Ada diruangan ini.
"Mino tadi keluar dulu membeli makanan..." Ucap ibu. Dalam Hati aku mendecih, ibu Kira aku mencari pria sialan itu. Haha.
Aku hanya mengangguk untuk menanggapinya.
"Mino tadi menelpon ibu sambil menangis karena melihatmu pingsan..." Ucap Ibuku lagi. Lagi-lagi aku mendecih, ya... Tentu saja, Song Mino dengan akting luar biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Menjelang Malam
FanfictionSemua Hal berpacu pada waktu, entah itu baik atau justru buruk untukku. Waktu yang membuatku akhirnya berbicara, menuntunku hingga bertindak, Dan mengarahkanku juga pada sesalan tiada ujung. Mungkin menjadi ilalang semakin menguntungkan, karena aku...