11

495 54 16
                                    

Mino menatapku penuh keraguan. Aku hanya balik menatapnya tanpa berkata apapun.
"Kau tidur duluan saja..." Tandasnya.

Yang bisa kulakukan hanya mengangguk pelan, sembari pergi dari hadapannya.

Aku menuju kamarku, menyelimuti diriku sendiri sambil tiba-tiba menangis. Aku teringat kejadian tadi siang, aku hampir saja jadi santapan orang gila itu.

Aku berpikir untuk memutar ulang nasibku, mereset yang sekarang dan pergi jauh hingga tidak ada satupun orang yang tahu. Mino adalah suamiku, ia berhak melindungiku tapi anehnya aku tidak merasa terlindung olehnya, perlindungannya tadi siang semata-mata untuk menyelamatkan citra perusahaanya terhadapku. Ya... Hanya karena hal itu saja, aku yakinkan diriku!

Aku kembali menangis, sedikit sesegukan hingga terdengar suara pintu terbuka, aku buru-buru mengelap air mataku dan pura-pura terpejam.

Mino tidak bodoh tentu saja, dia tahu aku menangis, dia tahu sekarang aku tengah sedih. Aku tiba-tiba membolakan mataku saat sepasang lengan memelukku penuh hangat. Aku merasakan napasnya menyesapku. Memberikan sedikit kehangatan disana.
"Aku... Aku... Minta maaf Irene..." Ucapnya penuh pilu.

Aku putuskan berbalik, mengahadap wajahnya yang pilu kesakitan itu.
"Terimakasih... Sudah menyelamatkanku..." Ucapku juga dengan ragu-ragu.

Ia hanya menatap intens padaku, baru kali ini aku melihat wajahnya secara begitu dekat, matanya penuh pilu ditengah rahangnya yang amat tegas itu.

Aku gapai rahangnya sampai ia terpejam. Mino kemudian merentangkan badannya, membuatku tidak bisa menggapai rahangnya lagi.

"Aku tidak ingin membuatmu menderita lagi..." Tuturnya pelan.

Aku menatap langit-langit kamar.
"Ya... Jangan membuatku menderita lagi..." Jawabku.

"Aku tidak bisa tidur denganmu tanpa memikirkan hal yang tidak-tidak..." Ucapnya perlahan.

Aku terkekeh mendengar jawabannya. Mino terlihat serius sekali ketika mengatakan hal itu.

"Maafkan aku..." Tuturnya pelan.

Entah iblis dari mana yang membuatku berani.
"Aku milikmu, bagaimana janjimu tentang memperbaiki hubungan ini?"

Aku melihat dari sorot mataku bahwa Mino mendesah pelan.
"Jangan buat aku melangkah lebih jauh..."

Aku menatapnya sendu.
"Tapi kau harus berbuat lebih jauh agar kita ini lebih baik..."

Mendengar kata-kataku, Mino berbalik menghadapku, menatapku nyalang, tertuju pada bibirku. Aku tidak menundukan kepalaku dan malah balik menatapnya intens.

Mino tetap tidak berbuat apa-apa mungkin karena dia masih ragu. Aku yang gila ini malah meraih tengkuknya, mengarahkan bibirku pada bibirnya yang tiba-tiba menggiurkan malam ini.

Melihatku yang bergerak, Mino menyesapku, mengajak bibirku untuk beradu lebih dalam, melupakan hal-hal yang entahlah membuat kami merasa canggung. Ia menyesapku tak karuan, aku sedikit kewalahan jadinya.

Aku memejamkan mataku ketika Mino beralih menuju leherku, aku mendesah pelan, Mino memang jago kalau urusan sesap-menyesap. Ia meraih pinggangku, dengan hati-hati agar tidak menyentuh payudaraku yang masih sakit.

Aku meraba tubuhnya, memberi jejak tidak terlihat bahwa aku menggerayanginya. Mino mungkin tiba-tiba sadar dan menatapku penuh rasa bersalah. Aku menyentuh pipinya, mengusapnya lembut.
"Tidak apa-apa, kau berhak untuk ini..."

Seperti mendapat persetujuan dariku, Mino kembali fokus pada bibirku, lidahnya yang lembut, menyusuri rongga mulutku dengan dalam.

Aku perlahan masuk pada kaos yang masih dikenakan Mino, meraba perut kotak-kotaknya dengan lembut. Ia mengerti, lalu ia melepaskan kaosnya dan akhirnya bertelanjang dada. Ia kemudian membuka piamaku dengan cepat hingga aku tidak sadar kapan ia memulainya.

Mino menatap nyalang payudaraku kemudian melihatku hati-hati, aku mengangguk sebagai persetujuan. Ia arahkan mulutnya pada kedua payudaraku, dan menyesapnya kehausan. Karena ASI ku masih keluar meski tidak ada bayi, jadilah Mino meminumnya rakus. Mino menjadi orang pertama yang aku susui.

"Eeuuugghh..." Sedikit sakit sebenarnya, namun nafsu sudah menguasaiku hingga aku mendesah kencang.

Mino masih fokus pada payudaraku secara bergantian. Aku kembali dibuat mendesah karenanya. Mino mulai membuka celana piamaku, beralih pada sesuatu yang lebih menggiurkannya.

Bergantian, ia sekarang terlihat terburu-buru membuka celananya hingga kami sama-sama telanjang. Aku menatapnya penuh gairah, ia juga menatapku seolah akan menerkamku sebuas mungkin.

Fakta bahwa kami pernah tidur bersama seakan sudah kulupakan, karena apapun yang sekarang ia masukan pada diriku seperti pertama kalinya untukku.

"Eeeuuggghhh... Ahhh... Ahhh..." Geramku tatkala Mino menumbuk tubuhku dengan keras.

Aku mengajaknya berciuman dan itu disambut dengan ganas olehnya. Ia berhasil menyesap beberapa bagian tubuhku sebelumnya dengan dirinya yang masih menumbukku tak karuan.

Oh tuhan! Aku lupa bahwa bercinta akan senikmat ini. Aku tidak ingat lagi bahwa enam bulan lalu kami melakukannya dengan seganas ini, dia tahu cara bercinta dengan penuh gairah, dia tahu cara membuat wanita mendesah.

Dan kami terkulai lemas saat Mino menembakkan cairan cintanya padaku, sedangkan aku telah berkali-kali keluar. Kami membiarkan dulu diri kami terhubung dan mengatur napas kami agar teratur.

Setelah agak reda, Mino menatapku dengan tatapannya yang sulit kuartikan. Kemudian ia mengecup keningku dengan lembut.
"Terimakasih..." Lirihnya.

Aku hanya tersenyum, dan kami akhirnya tertidur dengan keadaan diri yang telanjang yang hanya ditutupi oleh selimut.

Kisah Menjelang MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang