3

382 56 16
                                    

Aku duduk disebelah kemudi dengan Mino yang mengemudikan Mobil. Seperti yang diprediksi, tidak Ada satupun dari kami yang bicara atau setidaknya mencoba untuk memulai percakapan.

Mino adalah orang yang dingin, tatapannya, gerak-gerik tubuhnya, bahkan cara bicaranya. Bisa dibayangkan bagaimana canggungnya aku sekarang.

Hal ini selalu terjadi, tenang saja. Kami bukan orang yang mau mengambil resiko untuk menyakiti hati orang lain. Meski dihadapan orang tua kami seperti Marrie dan Pierre Curie, tapi nyatanya kami hanya dua orang yang memilih tidak saling kenal ketika berduaan seperti ini.

Aku membiarkan Mino berjalan mendahuluiku, memberiku ruang untuk lebih bergerak. Aku berjalan dibalik punggung lebarnya.

***

Aku memilih berlalu menuju kamarku, kurasa lebih baik dibanding harus berdiri canggung diruang tamu bersamanya. Namun ia menggapai pergelangan tanganku. Aku menoleh kearahnya.

"Kau... Baik-baik saja?" Tanyanya Setelah hening beberapa saat.

Aku menatapnya, sungguh, Mino menanyakan kabarku? Ini pertama kalinya dalam Lima bulan belakangan ini ia bahkan mau berbicara denganku.

"Ibu... Ibu bilang Ada sesuatu yang salah dengan--" Ia tidak melanjutkan kata-katanya, berganti dengan sorot mata yang mengarah pada payudaraku.

Aku mengerti, tentu saja.
"Ehm... Ya... Semua baik-baik saja..." Ucapku meyakinkannya.

Ia menatapku sebentar sebelum melepaskan tangannya dariku.
"Baiklah..."

Ia terus menatapku, membuatku bertanya dengan mengangkat sebelah alisku.
"Ada Hal lain yang ingin kau bicarakan?"

Mino refleks menggeleng.
"Ooh... Tidak... Selamat malam"

Aku memiringkan kepalaku sebentar, merasa Ada yang aneh dengan Mino Hari ini, maksudku hey! Sejak kapan dia mengucapkan Selamat malam?

***

Aku tidak bisa lagi berbohong, setidaknya soal rasa sakitku. Terbangun tengah malam karena payudaraku yang nyeri luar biasa Dan mengharuskanku mengingat lagi kejadian dua minggu lalu.

Setelah aku memutuskan untuk merelakannya, janinku tentu saja. Walaupun secara teknis janin itu membuatku jadi hidup seperti sekarang, tapi aku tetap wanita, aku mencintai janinku.

Yang bisa kulakukan sekarang hanya mengompres payudaraku dengan es batu yang dilapisi Kain. Yah... Mengingat tidak Ada yang bisa aku beri ASI sekarang. Aku menangis ditengah kompresanku, merasa malam yang dingin semakin mencekam dengan pikiran yang mengerikan.

Maksudku, ini seperti mempunyai kendaraan saat aku tidak punya kaki, aku tidak mampu untuk mengendarainya. Aku sangat kehilangannya walaupun aku sama sekali belum menemuinya, aku rela berbuat apapun untuknya, bayiku yang malang.

Semua berakhir ketika aku mulai menyalahkan diriku sendiri, atas apa yang kuperbuat, atau apa yang telah kulakukan untuknya. Semuanya tidak berjalan lancar semestinya. Aku tetap tidak bisa menerima keadaanku sendiri, aku benci fakta kalau aku kesepian, aku benci fakta bahwa aku sekarang menderita

Andaikan saja aku tidak bertemunya, andaikan saja aku tidak mengetahui apapun tentangnya, andaikan aku tidak bilang pada orang tuaku bahwa Mino melakukannya, andaikan, andaikan, Dan andaikan. Sebuah tanda penyesalan, tentu saja. Itu aku.

Aku keluar kamarku guna menyimpan es batu beserta Kain basah yang tadi kupakai untuk mengompres dadaku.

Aku tertegun saat melihat Mino yang tengah duduk sambil melamun kearah jendela dengan gelas alkoholnya Dan disampingnya terdapat botol whiskey disana. Mino tidak melihatku jadi aku putuskan untuk pura-pura tidak melihatnya juga.

Kusimpan Kain beserta wadah yang tadi aku bawa dari dapur kembali menempatkannya disana. Tidak mau berbasa-basi aku kembali lagi berjalan kearah kamarku, melanjutkan lagi tidurku.

"Masih sakit?" Ucap Mino tiba-tiba. Pandangannya masih kearah jendela Tanpa menatapku.

Kuyakin tidak Ada orang lain dirumah ini, jadi dia pasti berbicara padaku.
"Emmm... Tidak... Sudah lebih baik..." Cicitku.

Mino menoleh kearahku, mengangkat gelas whiskeynya.
"Mau minum?" Tawar Mino.

Aku mengerjap. Ini Song Mino kan?
"Tidak, terimakasih..."

Mino menatapku lamat-lamat sebelum menurunkan gelas yang tadi diangkatnya.
"Aku agak mabuk, bisakah kau mengambilkan segelas air untukku?" Pintanya.

Aku kembali mengerjap, Setelah tersadar aku kemudian mengangguk kearahnya lalu mengambilkan segelas air untuknya. Aku lalu menyodorkan gelas berisi air kepadanya. Ia mengambilnya, lalu meminum semuanya.

"Terimakasih..." Ujar Mino padaku.

Aku merasa Ada yang janggal dengan Song Mino malam ini, dengan mengajakku berbicara saja merupakan Hal yang sangat aneh menurutmu, ini ditambah dia mabuk sendirian, tengah malam, sambil menatap jendela luar?

"Aku... Aku... Aku Akan kembali ke kamarku..." Ujarku pelan. Mino hanya mengangguk Tanpa menoleh kearahku.

Aku menuju kamarku dengan dahi yang masih mengernyit, Ada apa dengan kepala Song Mino Hari ini?

***

Aku tidak bisa tidur dengan tidak memikirkan perilaku Mino yang aneh Hari ini. Song Mino yang tadi bukanlah Song Mino yang aku kenal, ia tidak mungkin mabuk sendirian ditengah malam begini, ya... Kuyakin setidaknya Ada selusin wanita yang bisa ia ajak untuk menemaninya minum. Ditambah lagi dengan sapaan Selamat malamnya, sial! Ada apa dengan otak pria itu?!

Kisah Menjelang MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang