5

348 52 18
                                    

Berita mengenai aku pingsan Dan dirawat dirumah sakit cukup cepat menyebar, buktinya mulai dari kedua orang tuaku, kedua orang tua Mino, sampai sahabatku Jennie Dan Hanbin kini tengah berkumpul sambil menontonku yang terbaring.

Aku menatap mereka satu persatu, terlihat bahagia semuanya. Tak luput juga Jennie Dan Hanbin, mereka yang duduk bersebelahan dengan tangan yang terus saling bergandengan.

Aku pikir aku Akan baik-baik saja dengan keputusan yang kuambil, tapi nyatanya aku lebih serakah dari yang kukira, aku lebih egois dari yang kubayangkan. Aku ingin mendapat perlakuan seperti itu juga, meski pada sadarnya aku tidak mencintai suamiku, tapi ya... Aku juga ingin dicintai seperti itu.

Satu pikiran tiba-tiba terlintas, aku juga ingin seperti mereka, kurasa sudah cukup untuk berpura-pura, toh juga tidak bisa selamanya bersama.

"Aku dan Mino akan bercerai..." Ujarku sedikit lantang agar terdengar jelas. Alhasil aku menjadi objek perhatian lagi. Semua orang menatapku tidak percaya, begitu pula Mino yang duduk disebelah ranjangku.

"Nak..." Ketir Ibuku saat mendengar ucapan tiba-tibaku.

Mino buru-buru menggapai tanganku, menggemggamnya erat sebagai isyarat agar aku diam. Aku melepas genggaman itu.
"Kami tidak bisa bersama lagi..." Ucapku lagi.

Ayahku sekarang mulai marah, terlihat dari sorot matanya yang menajam.
"Kau... Kenapa? Ada masalah apa diantara kalian?! Kenapa tiba-tiba?!"

Aku mendecih sambil mengarahkan mukaku kearah yang bersebrangan.
"Masalah? Dari awal hubungan kami memang bermasalah, Dan ini tidak tiba-tiba, aku Dan Mino tidak pernah saling mencintai..."

"Sayang..." Ucap Mino getir sambil menatapku sendu. Aku muak dengan tatapan itu.

"Kalian Ada masalah apa? Tidak bisa diselesaikan dengan baik-baik?" Tanya Ibu Mino kepadaku yang masih terbaring lemah.

"Tidak bu... Kami tidak apa-apa, aku Dan Irene baik-baik saja..." Ucap Mino untuk menenangkan Ibunya.

"Kita bicarakan Setelah kau pulang dari rumah sakit ya, sayang..." Ucap Mino lagi mengarah kepadaku.

Aku mulai menangis, Mino terlalu kejam untuk kupanggil sebagai suamiku.
"Katakan... Katakan bagaimana perlakuan burukmu selama ini kepadaku..." Ujarku sambil sesegukan. Aku mulai meremas selimut yang kupakai untuk menahan tangisku.

"Mino...!" Tegas Ayah Mino sambil menatap anaknya itu penuh amarah.

Mino memejamkan matanya frustasi, aku bisa melihatnya.
"Tidak yah... Aku... Aku akan membicarakan Hal ini dengan Irene dulu, kuharap kalian tidak keberatan untuk meninggalkan kami berdua..." Tutur Mino dengan nada lelah.

Aku menyela.
"Tidak! Biarkan mereka mendengarkannya, bagaimana Kita selama ini hancur bersama..." Lirihku.

Mino menatapku sendu, aku mendelik kearahnya.

"Sebaiknya Kita pergi dulu..." Lerai Ibuku kepada semua yang Ada disana. Aku menatap Ibu, bagaimana bisa sekarang ibu tidak Ada dipihakku?!

Semua mengangguk setuju, mereka langsung pergi meninggalkanku dengan Mino diruangan ini. Aku masih tidak ingin menatap Mino.

"Aku sudah bilang aku tidak Akan menceraikanmu..." Tegas Mino saat semua dipastikan sudah pergi.

Aku mendelik.
"Sudah kubilang aku tidak ingin hidup denganmu lagi..." Balasku.

"Jangan seperti ini, orang tua Kita Akan tahu kalau Kita punya masalah..." Tutur Mino, ia berusaha menggapai tanganku, namun aku menolaknya sebelum ia sampai.

Aku mendecih.
"Bukannya bagus? Kita tidak usah berpura-pura lagi..." Sorot mataku menajam kearahnya.

"Jangan seperti ini, kumohon..." Ucapnya dengan nada yang melunak.

"Aku tahu kau menikahiku karena bayi yang aku kandung kan? Sekarang aku kehilangan bayiku, jadi Kita tidak usah bertanggung jawab soal apapun..." Tuturku marah.

Mino menggeleng keras.
"Tidak, meskipun Kita telah kehilangan bayi itu, aku tidak Akan menceraikanmu..." Balas Mino.

Aku menghela napasku dalam-dalam.
"Aku tidak kuat hidup denganmu, kau selalu tidak peduli terhadapku, aku seperti hantu yang tidak dianggap olehmu..." Tangisku pecah saat aku mengingat bagaimana perlakuan Mino selama ini.

"Aku tidak bisa terus berpura-pura baik-baik saja, ketika dalam hatiku aku ingin dicintai juga, seperti Ayah Dan ibu, seperti Hanbin dan Jennie..." Lanjutku.

"Maafkan aku..." Ujar Mino sambil menunduk.

"Apa aku tidak bisa mendapatkannya?" Tanyaku lirih.

"Maafkan aku..." Ulang Mino.

Aku tersenyum sinis.
"Yasudah... Bercerai adalah yang terbaik untuk Kita..."

Mino kembali menggeleng sambil menggenggam tanganku yang berhasil dia raih.
"Tidak... Apapun asalkan tidak bercerai..."

Aku kembali menghela napasku.
"Percayalah, ini yang terbaik untuk Kita, kau bebas dariku, bebas mengencani gadis manapaun yang kau mau, aku juga tidak perlu berpura-pura mencintaimu didepan orang tua Kita..." Tuturku tegas.

"Tidak... Aku tidak perlu kebebasan, aku suka hidup seperti ini, Kita selama ini baik-baik saja kan dengan kesepakatan yang Kita buat?" Tanya Mino.

"Mungkin kau baik-baik saja tapi tidak untukku, pada akhirnya sebagaimanapun aku menahannya, aku tetap iri dengan orang-orang disekitarku, mereka tidak sepertiku..." Lirihku.

Mino kembali menatapku sendu.
"Kita mulai dari awal lagi ya? Kita perbaiki kesepakatan Kita..."

Kisah Menjelang MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang