Aku berlarian seperti orang kesetanan menuju kamar yang tadi Ibu Mino bilang. Kepalaku benar-benar tidak bisa berpikir lebih jernih lagi, mobil yang kukendarai bahkan hampir menabrak seorang Ibu-Ibu yang hendak menyebrang. Aku benar-benar tidak seperti diriku. Bukan Irene yang selalu berusaha tenang disetiap keadaan, dengan tidak sadar, aku biarkan perasaan khawatir yang menggebu terhadap Mino menguasai tubuhku.
Aku melihat Ibu Mino disana, bersama Ayah yang tengah berdiskusi entah untuk apa. Aku berlari kearah mereka, mereka kemudian menoleh saat merasa ada suara tapak yang mendekat.
"Irene..." Itu Ibu Mino yang bersuara.
Aku mengatur napasku terlebih dahulu.
"Mino?" Tanyaku tanpa basa-basi.
Ibu masih terlihat syok sedang Ayah berusaha lebih tenang dengan mengusap-usap lengan Ibu.
"Sedang beristirahat, baru saja keluar dari ruang operasi..." Ayah yang menjawabku.
"Tapi Mino tidak apa-apa kan?" Kataku lagi tanpa sedikitpun menurunkan nada khawatirku.
Ayah berusaha tersenyum.
"Tidak, dia baik-baik saja, hanya tangannya yang retak sedikit..." Kata Ayah.
Entah kenapa aku menghela napasku agak lega, setidaknya jiwa dan raganya masih lengkap, Mino masih ada bersamaku.
"Bisakah aku menemuinya?" Tanyaku lagi.
Ibu menganggukkan kepalanya, menyetujui usulku untuk masuk kedalam. Aku berjalan kedalam ruangan, mataku langsung mengedar, kemudian menemukan seorang pria berbaring disana, dikasur sambil terlelap matanya, terlilit perban ditangan kanannya juga baret-baret yang sekarang menggores wajah tampannya. Dia nampak lelah, wajahnya agak cekung meski aku baru semalam tidak bertemu dengannya. Hingga tanpa kusadari, setetes air mata turun dari mataku, rasanya aneh dan sakit saat aku harus melihat Mino terbaring disana, lelaki yang biasanya menjahiliku atau merengek kepadaku sekarang berada disana tanpa tenaga.
Aku mengangkat tanganku, jemariku bergerak menuju wajah baretnya, dengan sangat hati-hati agar jemariku tidak menyakiti wajahnya lebih lagi. Aku menyingkap dengan pelan rambut yang menghalangi kening indahnya. Mataku kembali mengucurkan air mata, tanpa permisi dan tanpa hati-hati. Aku dengan seksama memerhatikannya, meski hatiku masih sakit melihatnya dengan keadaanya. Hingga mata Mino kedutan, kemudian ia perlahan tak terlelap, membuka matanya dan melihatku dengan lemah. Aku menyingkirkan tanganku dari keningnya, menghapus air mataku yang masih keluar tanpa peringatan.
Aku berusaha keras untuk tersenyum, menatap sudut mata Mino yang melemah. Namun tidak ada jawaban disana, mungkin ia terlalu lelah untuk membalas senyumku, ia malah mengalihkan pandangannya, melihat kearah lain yang penting tidak melihatku. Aku terpaku, ada apa?
"Maaf... Aku pasti membangunkanmu?" Kataku lemah, ia masih melihat kearah lain, tidak menghiraukan perkataanku dan malah sekarang kembali menutup matanya.
Hatiku sakit tentu saja, padahal aku kemari mempertaruhkan banyak hal, padahal aku mengkhawatirkannya, padahal aku ingin menghiburnya. Tapi lelaki itu malah bungkam, memilih diam dan malah berpaling dari keadaan. Pria itu membuatku meninggalkan sebuah pertanyaan, dimana kesalahanku hingga ia tak mau menerimaku lagi? Padahal dulu aku sudah ingin pergi, melepas tali yang menguntai, meninggalkan semua memori yang bahkan tak terjadi.
Mungkin dia hanya lelah, pikiranku yang lain mendistraksi, mungkin dia tidak ingin menunjukan titik lemahnya dihadapanku, mungkin ia memiliki cerita yang belum bisa ia bagi kepadaku.
Dan pikiran itu silih berganti menghantuiku, ditambah dengan hati yang mulai melelah bertanya kenapa dan ada apa, aku bisa gila, dan mungkin Mino satu-satunya alasan yang membuatku demikian, mungkin hanya aku yang disini merasa kesakitan.
***
Mino belum bangun, atau mungkin belum memilih untuk bangun sampai sekarang pukul sembilan malam. Ayah dan Ibu masih menemaniku, dengan raut khawatir yang terpatri jelas diwajah mereka.
"Aku bisa disini sendiri..." Ujarku menenangkan Ayah dan Ibu Mino karena mereka nampak kelelahan.
Ibu Mino terlihat sendu.
"Ibu akan menemanimu..." katanya tulus.Aku menggeleng sambil tersenyum tenang.
"Tidak apa-apa bu, besok pagi saja kesini lagi, aku bisa malam ini..." Kataku lagi."Yasudah... kalau ada apa-apa beritahu kami secepatnya ya..." Ibu berpesan, aku mengangguk sebagai jawaban hingga tak lama mereka pergi, meninggalkan aku dan Mino dalam kesepian.
Aku bingung bukan main, bingung dengan berbagai perubahan yang aku alami. Mino dengan sikapnya yang berubah dalam sekejap dan perasaanku yang kian hari kian tak menentu. Aku menatapnya, wajah tegas Song Mino yang damai tak bergeming.
Dan lagi. Air mata berjatuhan lagi.
Pria itu kemudian mengerjap singkat sebelum mata pria itu membuka sepenuhnya. Dia menatapku, cukup dalam hingga membuatku kikuk. Tangannya menggapai wajahku, jemarinya tergerak untuk mengusap air mataku. Ia masih tak bersuara dengan sorot mata yang sama sekali tidak kukenal.
"K... kau... terbangun?" Ucapku penuh basa-basi.
Dia hanya tercekat, tak menjawab pertanyaanku. Dan hening selanjutnya.
"Ayo kita cerai..." Lirihnya pelan hampir tak terdengar.
Aku membelalak kaget, dia bicara apa?!
"Mino?""Maaf aku baru bisa mengabulkan permintaanmu sekarang..." Katanya lagi.
"Apa maksudmu?" Aku tetap bingung.
"Hubungan kita tidak mungkin berhasil" Cicitnya pelan.
"Hhh? Kenapa? Setidaknya beritahu aku alasanmu..."
Dia sekarang mengalihkan pandangannya dan aku tahu bahwa sesuatu telah terjadi didalam kepalanya.
"Kita tidak akan berhasil" Ulangnya."Kau sendiri yang ingin memperbaiki hubungan kita?"
Ia menatapku nanar, matanya berkaca seolah sedang sakit disana.
"Iya... maafkan aku, aku tidak bisa memperbaikinya..." Lirihnya lagi.Wajarkah kalau aku marah sekarang? Pria itu benar-benar mebolak-balikan hatiku, dia benar-benar mengguncang perasaanku, membuat aku dan pikiranku terombang-ambing ditepian padahal tidak mungkin ia menyelamatkan. Ini bukan Mino yang kukenal, entah dia habis bertemu siapa atau terbentur apa, omongannya kali ini sungguh kacau, dia sedang tidak baik-baik saja.
Aku menghela napas dengan dalam.
"Hhhh... kau sedang sakit, aku anggap tidak mendengar perkataanmu barusan"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Menjelang Malam
FanfictionSemua Hal berpacu pada waktu, entah itu baik atau justru buruk untukku. Waktu yang membuatku akhirnya berbicara, menuntunku hingga bertindak, Dan mengarahkanku juga pada sesalan tiada ujung. Mungkin menjadi ilalang semakin menguntungkan, karena aku...